Jumat, 21 Juni 2013

SERIAL MENAPAK JEJAK SALAF DALAM MENUNTUT ILMU #4

Sucikan Jiwamu dan Raihlah Ilmu

Jiwa yang suci, batin yang bersih membuat hati cemerlang. Sehingga semakin mudah memahami ilmu. Jika ilmu dunia bisa diraih dan dikuasai oleh siapa saja sekalipun seorang pe-maksiat ataupunkafir. Tidak demikian dengan ilmu syar’I yang sangat agung dan mulia. AllahTa’ala tidak meng-anugerahkannya kecuali kepada orang-orang yang bertakwa kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman, (Artinya), “Dan bertakwalah kepadaAllah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”[1] 

Ibnu Katsir menjelaskan makna ayatini, “(bertakwalah kamu kepada Allah) maknanya : takutlah kepada-Nya, dan senantiasalah merasakan pengawasan-Nya. Ikutilah perintah-Nya serta tinggalkan larangan-Nya.
( Allah mengajarmu) maknanya seperti firman Allah Ta’ala, (Artinya), “Hai orang-orang beriman,jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan”.[2]
Dan seperti firman-Nya, (Artinya), “Hai orang-orang yang beriman (kepada Para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan.”[3]



Furqon yang dimaksud pada ayat di atas yaitu sesuatu yang dengannya seseorang bisa membedakan antara yang hakdan yang batil. Demikian juga dengan cahaya yang menuntun jalan seseorang itu adalah ilmu yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada orang yang bertakwa kepada Allah Ta’ala.

Kesimpulannya, jika ingin meraihilmu Din bertakwalah kepada Allah Ta’ala, jauhi maksiat dan banyaklahbertaubat.

Adh-Dhohhak berkata, “Tidaklah seseorang itu mempelajari al-Qur’an lalu ia lupa melainkan karena dosa yang dilakukannya.” Kemudian beliau membaca firman Allah Ta’ala, (Artinya), “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”[4] 

Dan dosa apalagi yang lebih besar dari pada melupakan al-Qur’an?”[5]

Sahnun bercerita tentang gurunya Ibnul Qosim, bahwa gurunya sering kali ketika mengajarkan ilmu berkata, “Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya sedikitnya perkara (ilmu) ini jika disertai ketakwaan kepada Allah akan menjadi banyak. Dan banyaknya perkara ini jika tidak bertakwa kepada Allah adalah sedikit.”[6]

Para Imam-Imam salafus sholeh menjadi harum nama mereka sepanjang masa adalah karena senantiasa mewujudkan dan menjaga Tazkiyatun Nafsi.

Ibnu Qudamah berkata, “Adapun ilmu mu’amalah, yaitu ilmu tentang keadaan-keadaan hati seperti sifat Khauf (takut), Roja’ (harap), Ridho, Shidq (benar/jujur), Ikhlas dan yang lainnya. Dengan ilmu inilah menjadi tinggi kedudukan para Kibaar Ulama (ulama-ulama besar). Dan dengan meng-aplikasikannya nama mereka menjadi harum. Seperti Sufyan, Abu Hanifah,Malik, asy-Syafi’I dan Ahmad. Dan sesungguhnya merosotnya kedudukan orang-orang yang digelari fuqoha, ulama dari kedudukan tinggi tersebut karena mereka disibukkan oleh bentuk-bentuk (zahir) ilmu tanpa membawa jiwa mencapai hakekat tersebut dan mengamalkan amalan-amalan hati.”[7]

Menuntut ilmu zhahir adalah kebaikan tetapi tanpa mewujudkan amaliyah hati dalam rangka mensucikannya menjadikan ilmu zhahir tersebut gersang.

Mintalah Ilmu Kepada Yang Memilikinya

Barangkali anda kesulitan dalam mempelajari satu cabang ilmu syar’i. berat dalam memahami ayat atau menyimpulkan faedah dari hadits. Kenapa tidak ber-tawajjuh kepada al-‘Aliim (YangMaha Mengetahui) menengadahkan kedua tangan atau sujud dan memohon diberikan pemahaman kepada-Nya?

Ibnu Abdil Hadi menuturkan, “Ibnu Taimiyah bercerita, ‘Kadangkala aku menela’ah satu ayat sampai seratus tafsir. Kemudian aku memohon pemahaman kepada Allah, aku berdo’a, ‘Wahai yang mengajarkan Adam dan Ibrahim ajarkanlah aku.’ Dan kadang aku pergi ke masjid-mesjid yang sepi atau semisalnya. Lalu aku menyungkurkan wajahku ke tanah, aku meminta kepada Allah Ta’ala, ‘Wahai yang mengajarkan Ibrahim, anugerahilah aku pemahaman.’[8]

Bersambung insya Allah.
dirangkum dengan ringkas oleh Ustadz Abuz Zubair Hawaary.


[1]Al-Baqoroh : 282.
[2]Al-Anfaal : 29.
[3]Al-Hadid : 28. Lihat tafsir Ibnu Katsir (1/727).
[4]Asy-Syuuro : 30.
[5]Mukhtashor Qiyaamul Lail oleh al-Marwazy : 1/178.
[6]Siyar A’laamin Nubalaa’ (9/122).
[7]Mukhtashor Minhaj al-Qoshidin (27).
[8] al-'Uqud ad-Durriyyah oleh Ibnu Abdil Hadi (24-25)