Senin, 17 Juni 2013

SERIAL MENAPAK JEJAK SALAF DALAM MENUNTUT ILMU #2

Lebih Manis dari Madu :

Mendengar kata nikmat dan lezat barangkali pikiran kita langsung membayangkan makanan atau minuman yang palingkita sukai. Karena memang tidak sedikit dari manusia himmah-nya masih sebatasbagaimana mengisi perut dan memenuhi kebutuhan nafsu..Allahul Musta’aan.

Dulu, as-Salafush Sholeh sebagian mereka kurang makan dan tidur karena mengkaji ilmu. Sebagian merekamakan sekedarnya tanpa berkeluh kesah di jalan ilmu. Karena semua itu telahtergantikan oleh indah, nikmat dan lezatnya ilmu yang mereka tuntut.


Khalifah Abdul Malik bin Marwan memerintahkan al-Hajjaj untuk mencarikannya seorang yang mengerti tentang halal dan haram, menguasai syair-syair arab dan berita-beritanya. Agar ia bisa menimb afaedah dan mendapatkan pengetahuan darinya.

Maka al-Hajjaj membawakan Imam asy-Sya’biyy kepadanya. Dan beliau adalah salah seorang yang paling luasi lmunya di masa itu.

Asy-Sya’biyy bercerita, “Aku tida kpernah bertemu seorang pemimpin ataupun rakyat melainkan ia butuh kepadaku danaku tidak butuh kepadanya, kecuali Abdul Malik. Setiap kali aku bacakan bait-bait syair, atau aku sampaikan sebuah hadits melainkan ia menambahkanku padanya. Dan pernah aku menyampaikan ilmu kepadanya, ketika itu ia sedang menyuap makanan. Maka ia menyimak dengan sungguh-sungguh sambil menahan suapannya. Aku berkata kepadanya, ‘Hai Amirul Mukminin suap makananmu, sesungguhnya lanjutan pembicaraan ini sesudah itu.’ Ia menimpali, ‘Apa yang engkau sampaikan kepadaku lebih meresap di hatiku dari segala kelezatan dan lebih nikmat bagiku dari segala faedah.”[1]

Ilmu ini memang nikmat
Saking nikmatnya terkadang bisa membuat seseorang lupa makan dan tidur.

Imam al-Haramain Abul Ma’aly al-Juwainy bertutur, “Biasanya aku tidak tidur dan tidak makan. Aku hanya tidur apabila benar-benar mengantuk malam ataupun siang dan makan apabila benar-benar menginginkan makanan kapanpun waktunya. Kesukaanku adalah mengulang-ngulang ilmu dan mencari faedah dari bidang ilmu apa saja.”[2]

Jika lezat dan nikmatnya aneka makanan dan minuman sebatas di dunia dan itupun sesaat. Maka kelezatan ilmu adalah yang paling agung dan tidak terputus hingga setelah mati, serta bermanfaat kelak di akhirat.[3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernahsakit. Tabib berkata kepadanya, “Aktifitasmu menela’ah ilmu dan menyampaikannya bisa membuat sakitmu bertambah parah.” Tabib menyarankannya untuk beristirahat dari mempelajari dan mengajarkan ilmu.

Maka beliau berkata kepada tabib, “Aku tidak bisa bersabar menahan diri  dari itu. Dan aku akan mengadumu dengan disiplin ilmumu. Bukankan menurut ilmumu jiwa apabila dia gembira dan bahagia bisa memperkuat diri dan melawan penyakit?”tabib menjawab, “Benar.”
“Nah, sesungguhnya jiwaku merasa gembira dan bahagia dengan ilmu sehingga tubuhku semakin kuat dan aku merasakan ketenangan.” Lanjut Syaikhul Islam. Akhirnya sang tabib berkata, “Ini diluar pengobatan kami.”[4]

Saudaraku, nikmati ilmu maka engkau akan memetik hasilnya!!

Dengarkan cerita Ibnul Jauzy tentang kunci keberhasilannya dalam menuntut ilmu, “Sungguh, adalah aku dimasa-masa nikmatnya aku menuntut ilmu mengalami kondisi-kondisi yang teramat berat namun bagiku itu lebih manis dari pada madu. Demi apa yang aku tuntut dan harapkan. Pernah dimasa mudaku, aku membawa sepotong roti kering sebagai bekal dalam menuntut ilmu hadits. Aku duduk di tepian sungai Isa, aku tidak sanggup memakan roti itu kecuali dengan air. Setiap kali aku mengunyahnya aku harus meminum air. Namun fokus cita-citaku tidak melihat kecuali kelezatan meraih ilmu.

Maka itu membuahkan hasil bagiku,bahwa aku dikenal dengan banyaknya mendengar hadits-hadits siroh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallama, kondisi-kondisi datn keadaannya serta sirohpara sahabat tabi’in.”[5]
Saudaraku, sebelum menutup lembaran ini jangan lupakan ILMU ITU LEBIH MANIS DARI MADU.
(bersambung)


Footnote:
[1] Mu’jamal-Udaba’ oleh Yaquut al-Hamawy (1/33).
[2] TabyiinKadzibil Muftary fiima nusiba ilal Asy’ary (1/283).
[3] LihatMajmu’ Fatawa (14/162).
[4]Rawdhotul Muhibbiin oleh Ibnul Qoyyim (70).
[5] ShoidulKhotir (248).