Kamis, 16 Desember 2010

Jaminlah Bagiku Enam Perkara, Aku Jamin Bagimu Surga

Oleh Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzak bin Abdulmuhsin al-Badr hafidhahullah ta’ala
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas pemimpin para Rasul, Nabi kita Muhammad. Juga atas keluarganya dan seluruh para sahabatnya. Wa ba’du.
Termasuk sesuatu yang dimaklumi oleh seluruh manusia bahwa kata “jaminan” akan anda dapati di kalangan manusia mendapat perhatian yang sangat besar. Kata ini senantiasa mengiringi aktifitas jual beli dan perniagaan mereka. Barang dagangan yang memiliki jaminan akan mendapat tempat tersendiri dibanding barang-barang yang tidak memilikinya.

Senin, 13 Desember 2010

Seindah Cinta Wanita Perindu Surga

Malam baru mulai memasuki sepertiga bagiannya yang terakhir, seorang lelaki termenung di dalam khalwatnya kepada Allah Ta’ala, sebagian hati dan pikirannya berkecamuk, ucapan tahmid tak henti-hentinya terlafadzkan oleh lisannya, tak terasa ada butiran air yang hangat menetes dari matanya, sungguh ini air mata bahagia.
Dipalingkannya wajahnya kesamping dan menatap wajah istrinya yang sedang terlelap tidur, sungguh wajah yang damai dan paras terindah yang pernah ia temui di dalam hidupnya, diperhatikannya dengan seksama dan pandangan kagum terhadap istrinya, ada suatu hal yang seakan menyesakkan dadanya, suatu ungkapan haru yang teramat dalam, dan berusaha ia untuk semampu mungkin menahan linangan air mata bahagia itu, namun lelaki itu tak mampu dan ia memutuskan untuk mengambil air wudhu demi menghadap ke hadapan Rabb-nya.

Senin, 08 November 2010

Fatwa Ulama Tentang Hukum Boikot Produk Yahudi


Sebagai orang yang ingin selalu mencari kebenaran, ketika tersesat atau bingung mau berjalan ke mana, tentu akan bertanya pada orang yang lebih mengetahui jalan tersebut. Dalam masalah diin (agama), tentu saja ketika bingung, ulama-lah yang jadi tempat bertanya.

Allah Ta’ala berfirman,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl: 43 dan Al Anbiya’: 7)

[Fatwa Pertama]

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah pernah ditanyakan,

“Wahai Syaikh yang mulia, ada sebuah minuman yang dinamakan Coca-Cola yaitu minuman produk perusahaan Yahudi. Apa hukum meminum minuman ini dan apa hukum menjualnya? Apakah kalau menjualnya termasuk bentuk tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan?”

Syaikh rahimahullah menjawab,

“Apakah tidak sampai padamu hadits yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi untuk keluarganya, lalu tatkala beliau meninggal dunia, baju besinya masih tergadai pada orang Yahudi tersebut?

Apakah juga tidak sampai padamu hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerima hadiah dari seorang Yahudi.

Jika kita mengatakan: Jangan menggunakan produk Yahudi atau jangan memakan produk Yahudi, maka akan luput nantinya berbagai hal yang dinilai manfaat semacam mobil-mobil yang kebanyakan dikerjakan oleh orang Yahudi atau akan hilang di tengah-tengah hal-hal yang bermanfaat lainnya yang hanya diproduksi oleh orang-orang Yahudi.

Memang benar bahwa minuman semacam ini kadang ada unsur bahaya dari orang Yahudi karena sudah diketahui bahwa orang Yahudi bukanlah orang yang amanat. Contohnya adalah mereka pernah meletakkan racun pada daging kambing yang dihadiahkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengatakan, “Aku terus merasakan rasa sakit disebabkan makanan yang dulu pernah kumakan di Khoibar. Karena racun inilah terputuslah urat nadiku (kematianku)”. Oleh karena itu, Az Zuhri rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat karena dibunuh oleh orang-orang Yahudi. Semoga Allah melaknati mereka. Semoga Allah juga melaknati orang-orang Nashrani.” Jadi, mereka semua tidak dapat dipercaya, baik orang Yahudi maupun Nashrani. Akan tetapi, aku menduga bahwa barang yang sampai kepada kita ini pasti sudah dicek dan sudah diuji keamanannya, juga sudah diketahui bermanfaat ataukah tidak.” (Kaset Liqo’ Al Bab Al Maftuh no.64)

[Fatwa Kedua]

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhohullah pernah ditanyakan,

“Wahai Syaikh yang mulia, terpampang di koran-koran saat ini seruan untuk pemboikotan produk Amerika. Di antaranya apa yang tertulis hari ini bahwa para ulama kaum muslimin menyeru pemboikotan dan aksi ini dikatakan fardhu ‘ain, setiap muslim wajib melakukan pemboikotan ini. Ada yang mengatakan bahwa membeli satu saja dari barang-barang ini adalah haram dan pelakunya telah berbuat dosa besar, telah menolong Amerika dan membantu Yahudi memerangi kaum muslimin. Saya mengharap Syaikh yang mulia bisa menjelaskan hal ini.”

Syaikh hafizhohullah menjawab,

“Yang pertama: Saya meminta salinan surat kabar atau perkataan yang disebutkan oleh penanya tadi. Yang kedua: fatwa semacam tadi tidaklah benar. Para ulama tidak berfatwa bahwa produk Amerika itu haram. Produk-produk Amerika tetap ada dan masih dipasarkan di tengah-tengah kaum muslimin. Jika engkau tidak membeli produk Amerika, itu pun tidak membahayakan mereka. Memboikot produk tertentu hanya boleh dilakukan jika ada keputusan dari penguasa kaum muslimin. Jika penguasa kaum muslimin memerintahkan untuk memboikot suatu produk, maka kaum muslimin wajib untuk memboikot. Adapun jika itu hanya seruan dari person-person tertentu dan mengeluarkan suatu fatwa, maka ini berarti telah mengharamkan apa yang Allah halalkan.” (Dari kaset Fatwa Ulama dalam Masalah Jihad dan Aksi Bunuh Diri dari Tasjilat Minhajus Sunnah Riyadh. Dinukil dari Majalah Al Furqon, IV/12)

Untuk melengkapi dua fatwa di atas, kami tambahkan lagi dengan fatwa Al Lajnah Ad Da’imah (Komisi Fatwa di Kerajaan Saudi Arabia)

[Fatwa Ketiga – Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts wal Ifta’]

Soal Ketiga dari Fatawa no. 3323

Pertanyaan:

Apa hukum kaum muslimin tidak saling tolong menolong yaitu mereka tidak saling ridho dan tidak punya keinginan untuk membeli produk dari saudara mereka sesama muslim? Namun yang ada malah dorongan untuk membeli dari toko-toko orang kafir, apakah seperti ini halal atau haram?

Jawab:

Perlu diketahui, dibolehkan bagi seorang muslim untuk membeli kebutuhannya yang Allah halalkan baik dari penjual muslim maupun kafir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah melakukan jual beli dengan seorang Yahudi. Namun jika seorang muslim berpindah ke penjual kafir tanpa ada sebab. Di antara sebabnya misalnya penjual muslim tersebut melakukan penipuan, menetapkan harga yang terlalu tinggi atau barang yang dijual rusak/cacat. Jika itu terjadi dan akhirnya dia lebih mengutamakan orang kafir daripada muslim, maka ini hukumnya haram. Perbuatan semacam ini termasuk loyal (wala’), ridho dan menaruh hati pada orang kafir. Akibatnya adalah hal ini bisa membuat melemahnya dan lesunya perekonomian kaum muslimin. Jika semacam ini jadi kebiasaan, akibatnya adalah berkurangnya permintaan barang pada kaum muslimin.

Adapun jika di sana ada faktor pendorong semacam yang telah disebutkan tadi (yaitu penjual muslim yang sering melakukan penipuan, harga barang yang terlalu tinggi atau barang yang dijual sering ditemukan cacat), maka wajib bagi seorang muslim menasehati sikap saudaranya yang melakukan semacam itu yaitu memerintahkan agar saudaranya tersebut meninggalkan hal-hal jelek tadi. Jika saudaranya menerima nasehat, alhamdulillah. Namun jika tidak dan dia malah berpaling untuk membeli barang pada orang lain bahkan pada orang kafir, maka pada saat itu dibolehkan mengambil manfaat dengan bermua’amalah dengan mereka.

Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.

Al Lajnah Ad Daa-imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Iftaa’

Anggota: ‘Abdullah bin Qu’ud, ‘Abdullah bin Ghodyan

Wakil Ketua: ‘Abdur Rozaq ‘Afifi

Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz

Kesimpulan

Seorang muslim dilarang untuk loyal (wala’) pada orang kafir, di antara bentuknya adalah menyerupai mereka (tasyabbuh) dalam hal yang menjadi ciri khas mereka. Namun apakah boleh menggunakan produk orang kafir? Jawabannya adalah boleh-boleh saja. Akan tetapi, masalah selanjutnya adalah bolehkah membeli produk orang kafir sedangkan masih ada produk kaum muslimin?Jawabannya adalah dalam dua rincian berikut:

[Pertama] Jika seorang muslim berpindah ke penjual kafir tanpa ada sebab. Di antara sebabnya misalnya penjual muslim tersebut melakukan penipuan, menetapkan harga yang terlalu tinggi atau barang yang dijual rusak/cacat. Jika itu terjadi dan akhirnya dia lebih mengutamakan orang kafir daripada muslim, maka ini hukumnya haram.

[Kedua] Adapun jika di sana ada faktor pendorong semacam penjual muslim yang sering melakukan penipuan, harga barang yang terlalu tinggi atau barang yang dijual sering ditemukan cacat, maka wajib bagi seorang muslim menasehati sikap saudaranya yang melakukan semacam itu yaitu memerintahkan agar saudaranya tersebut meninggalkan hal-hal jelek tadi. Jika saudaranya menerima nasehat, alhamdulillah. Namun jika tidak dan dia malah berpaling untuk membeli barang pada orang lain bahkan pada orang kafir, maka pada saat itu dibolehkan mengambil manfaat dengan bermua’amalah dengan mereka.

Alhamdulillah, Allah telah memudahkan untuk menyelesaikan tulisan ini. Semoga Allah memahamkan kaum muslimin terhadap aqidah yang mulia ini yaitu berlepas diri dari orang-orang kafir dan tidak loyal terhadap mereka.

Semoga Allah memberikan kita ilmu yang bermanfaat, amalan yang sholeh dan rizki yang thoyib.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

***

Selesai disusun di rumah mertua tercinta, Panggang, Gunung Kidul, 13 Jumaadits Tsani 1430 H.

Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal

http://www.rumaysho.com/


Sabtu, 06 November 2010

4 Kewajiban Penuntut Ilmu

Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan dalam risalahnya,

Pertama, sangat semangat untuk menambah ilmu.

Kedua, sabar dalam meraih ilmu.

Ketiga, mengikhlas niat karena Allah Ta’ala dalam mencari

Keempat, memohon pada Allah agar mudah mendapatkannya.

Dalam Shahih Muslim, dari Yahya bin Abi Katsir, ia berkata,

لا يستطاع العلم براحة الجسم

“Ilmu tidaklah dicapai dengan badan yang bersantai-santai.”

Sumber: Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Yahya bin Syarf An Nawawi, 1/37.

Worth Note, 17 Dzulqo’dah 1431 H, 25/10/2010 in KSU, Riyadh, KSA

Written by: Muhammad Abduh Tuasikal

http://rumaysho.com

Sabtu, 30 Oktober 2010

OBJEK KAJIAN ILMU AQIDAH[1]

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Aqidah jika dilihat dari sudut pandang sebagai ilmu -sesuai konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah- meliputi topik-topik: Tauhid, Iman, Islam, masalah ghaibiyyaat (hal-hal ghaib), kenabian, takdir, berita-berita (tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang), dasar-dasar hukum yang qath’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk pula sanggahan terhadap ahlul ahwa’ wal bida’ (pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah), semua aliran dan sekte yang menyempal lagi menyesatkan serta sikap terhadap mereka.

Disiplin ilmu ‘aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah (golongan-golongan) lainnya.

KEUTAMAAN ILMU SYAR’I DAN MEMPELAJARINYA



Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Allah Ta’ala telah memuji ilmu dan pemiliknya serta mendorong hamba-hamba-Nya untuk berilmu dan membekali diri dengannya. Demikian pula Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang suci.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (wafat th. 751 H) rahimahullaah menyebutkan lebih dari seratus keutamaan ilmu syar’i. Di buku ini penulis hanya sebutkan sebagian kecil darinya. Di antaranya:

[1]. Kesaksian Allah Ta’ala Kepada Orang-Orang Yang Berilmu
Allah Ta’ala berfirman,

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” [Ali ‘Imran: 18]

Pada ayat di atas Allah Ta’ala meminta orang yang berilmu bersaksi terhadap sesuatu yang sangat agung untuk diberikan kesaksian, yaitu keesaan Allah Ta’ala... Ini menunjukkan keutamaan ilmu dan orang-orang yang berilmu. [1]

Selain itu, ayat di atas juga memuat rekomendasi Allah tentang kesucian dan keadilan orang-orang yang berilmu.

Sesungguhnya Allah hanya akan meminta orang-orang yang adil saja untuk memberikan kesaksian. Di antara dalil yang juga menunjukkan hal ini adalah hadits yang masyhur, bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Ilmu ini akan dibawa oleh para ulama yang adil dari tiap-tiap generasi. Mereka akan memberantas penyimpangan/perubahan yang dilakukan oleh orang-orang yang ghuluw (yang melampaui batas), menolak kebohongan pelaku kebathilan (para pendusta), dan takwil orang-orang bodoh.” [2]

[2]. Orang Yang Berilmu Akan Allah Angkat Derajatnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan secara khusus tentang diangkatnya derajat orang yang berilmu dan beriman. Allah Ta’ala berfirman.

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu: ‘Berilah kelapangan dalam majelis’, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Al-Mujaadilah : 11] [3]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah mengangkat dengan Al-Qur-an beberapa kaum dan Allah pun merendahkan beberapa kaum dengannya.” [4]

Di zaman dahulu ada seseorang yang lehernya cacat, dan ia selalu menjadi bahan ejekan dan tertawaan. Kemudian ibunya berkata kepadanya, “Hendaklah engkau menuntut ilmu, niscaya Allah akan mengangkat derajatmu.” Sejak itulah, orang itu belajar ilmu syar’i hingga ia menjadi orang alim, sehingga ia diangkat menjadi Qadhi (Hakim) di Makkah selama 20 (dua puluh) tahun. Apabila ada orang yang berperkara duduk di hadapannya, maka gemetarlah tubuhnya hingga ia berdiri. [5]

Orang yang berilmu dan mengamalkannya, maka kedudukannya akan diangkat oleh Allah di dunia dan akan dinaikkan derajatnya di akhirat.

Imam Sufyan bin ‘Uyainah (wafat th. 198 H) rahimahullaah mengatakan, “Orang yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para Nabi dan ulama.” [6]

Allah pun telah berfirman tentang Nabi Yusuf ‘alaihis salaam:

“...Kami angkat derajat orang yang Kami kehendaki, dan diatas setiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui.” [Yusuf: 76]

Disebutkan bahwa tafsir ayat di atas adalah bahwasanya Kami (Allah) mengangkat derajat siapa saja yang Kami kehendaki dengan sebab ilmu. Sebagaimana Kami telah mengangkat derajat Yusuf ‘alaihis salaam di atas saudara-saudaranya dengan sebab ilmunya.

Lihatlah apa yang diperoleh oleh Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam berupa pengetahuan (ilmu) terhadap Al-Kitab, Hikmah, Taurat dan Injil. Dengannyalah Allah Ta’ala mengangkatnya kepada-Nya, mengutamakannya serta memuliakannya. Demikian juga apa yang diperoleh pemimpin anak Adam (yaitu Nabi Muhammad) shallallaahu ‘alaihi wa sallam berupa ilmu yang Allah sebutkan sebagai suatu nikmat dan karunia.

Allah Ta’ala berfirman:

“... Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur-an) dan hikmah (As-Sunnah) kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu sangat besar.” [An-Nisaa’: 113] [7]

[3]. Orang Yang Berilmu Adalah Orang-Orang Yang Takut Kepada Allah
Allah mengabarkan bahwa mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah Ta’ala, bahkan Allah mengkhususkan mereka di antara manusia dengan rasa takut tersebut. Allah berfirman:

“... Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama.” [Faathir: 28]

Ibnu Mas’ud Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Cukuplah rasa takut kepada Allah itu disebut sebagai ilmu. Dan cukuplah tertipu dengan tidak mengingat Allah disebut sebagai suatu kebodohan.” [8]

Imam Ahmad rahimahullaah berkata, “Pokok ilmu adalah rasa takut kepada Allah.” [9] Apabila seseorang bertambah ilmunya, maka akan bertambah rasa takut-nya kepada Allah.

[4]. Ilmu Adalah Nikmat Yang Paling Agung
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan beberapa nikmat dan karunia-Nya atas Rasul-Nya (Nabi Muhammad) shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan menjadikan nikmat yang paling agung adalah diberikannya Al-Kitab dan Al-Hikmah, dan Allah mengajarkan beliau apa yang belum diketahuinya.
Allah berfirman:

“... Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur-an) dan hikmah (As-Sunnah) kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu sangat besar.” [An-Nisaa’: 113] [10]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab (Al-Qur-an) dan yang sepertinya (As-Sunnah) bersamanya...” [11]

[5]. Faham Dalam Masalah Agama Termasuk Tanda-Tanda Kebaikan
Dalam ash-Shahiihain dari hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan (wafat th. 78 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan pemahaman agama kepadanya.” [12]

Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak diberikan pemahaman dalam agamanya tidak dikehendaki kebaikan oleh Allah, sebagaimana orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia menjadikannya faham dalam masalah agama. Dan barangsiapa yang diberikan pemahaman dalam agama, maka Allah telah menghendaki kebaikan untuknya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan pemahaman (fiqh) adalah ilmu yang mengharuskan adanya amal. [13]

Imam an-Nawawi (wafat th. 676 H) rahimahullaah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat keutamaan ilmu, mendalami agama, dan dorongan kepadanya. Sebabnya adalah karena ilmu akan menuntunnya kepada ketaqwaan kepada Allah Ta’ala.” [14]

[6]. Orang Yang Berilmu Dikecualikan Dari Laknat Allah
Imam at-Tirmidzi (wafat th. 249 H) rahimahullaah meriwayatkan dari Abu Hurairah (wafat th. 57 H) radhi-yallaahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ketahuilah, sesungguhnya dunia itu dilaknat dan dilaknat apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya, orang berilmu, dan orang yang mempelajari ilmu.’” [15]

[7]. Menuntut Ilmu Dan Mengajarkannya Lebih Utama Daripada Ibadah Sunnah Dan Wajib Kifayah
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Keutamaan ilmu lebih baik daripada keutamaan ibadah, dan agama kalian yang paling baik adalah al-wara’ (ketakwaan).” [16]

‘Ali bin Abi Thalib (wafat th. 40 H) Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Orang yang berilmu lebih besar ganjaran pahalanya daripada orang yang puasa, shalat, dan berjihad di jalan Allah.” [17]

Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Sungguh, aku mengetahui satu bab ilmu tentang perintah dan larangan lebih aku sukai daripada tujuh puluh kali melakukan jihad di jalan Allah.” [18]

Aku (Ibnul Qayyim) katakan, “Ini -jika shahih- maknanya adalah: lebih aku sukai daripada jihad tanpa ilmu, karena amal tanpa ilmu kerusakannya lebih banyak daripada baiknya.” [19]

Al-Hasan rahimahullaah berkata, “Orang yang berilmu lebih baik daripada orang yang zuhud terhadap dunia dan orang yang bersungguh-sungguh dalam beribadah.” [20]

Sufyan ats-Tsauri (wafat th. 161 H) rahimahullaah mengatakan, “Aku tidak mengetahui satu ibadah pun yang lebih baik daripada mengajarkan ilmu kepada manusia.” [21]

Imam asy-Syafi’i (wafat th. 204 H) rahimahullaah mengatakan, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih baik setelah berbagai kewajiban syari’at daripada menuntut ilmu syar’i.” [22]

[8]. Ilmu Adalah Kebaikan Di Dunia
Mengenai firman Allah Ta’ala,

“Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia”

Al-Hasan (wafat th. 110 H) rahimahullaah berkata, “Yang dimaksud kebaikan dunia adalah ilmu dan ibadah.” Dan firman Allah,

“Dan kebaikan di akhirat.” [Al-Baqarah: 201]

Al-Hasan rahimahullaah berkata, “Maksudnya adalah Surga.”

Sesungguhnya kebaikan dunia yang paling agung adalah ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, dan ini adalah sebaik-baik tafsir ayat di atas. [23]

Ibnu Wahb (wafat th. 197 H) rahimahullaah berkata, “Aku mendengar Sufyan ats-Tsauri rahimahullaah berkata, ‘Kebaikan di dunia adalah rizki yang baik dan ilmu, sedangkan kebaikan di akhirat adalah Surga.’” [24]

[9]. Ilmu Adalah Jalan Menuju Kebahagiaan
Imam Ahmad dan at-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Shahabat Abu Kabasyah al-Anmari (wafat th. 13 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“...Sesungguhnya dunia diberikan untuk empat orang: (1) seorang hamba yang Allah berikan ilmu dan harta, kemudian dia bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, dengannya ia menyambung sila-turahmi, dan mengetahui hak Allah di dalamnya. Orang tersebut kedudukannya paling baik (di sisi Allah). (2) Seorang hamba yang Allah berikan ilmu namun tidak diberikan harta, dengan niatnya yang jujur ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Ia dengan niatnya itu, maka pahala keduanya sama. (3) Seorang hamba yang Allah berikan harta namun tidak diberikan ilmu. Lalu ia tidak dapat mengatur hartanya, tidak bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, tidak menyambung silaturahmi dengannya, dan tidak mengetahui hak Allah di dalamnya. Kedudukan orang tersebut adalah yang paling jelek (di sisi Allah). Dan (4) seorang hamba yang tidak Allah berikan harta tidak juga ilmu, ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Ia berniat seperti itu dan keduanya sama dalam mendapatkan dosa.” [25]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membagi penghuni dunia menjadi empat golongan. Golongan yang terbaik di antara mereka adalah orang yang diberikan ilmu dan harta; ia berbuat baik kepada manusia dan dirinya sendiri dengan ilmu dan hartanya. [26]

[10]. Menuntut Ilmu Akan Membawa Kepada Kebersihan Hati, Kemuliaannya, Kehidupannya, Dan Cahayanya
Sesungguhnya hati manusia akan menjadi lebih bersih dan mulia dengan mendapatkan ilmu syar’i dan itulah kesempurnaan diri dan kemuliaannya. Orang yang menuntut ilmu akan bertambah rasa takut dan taqwanya kepada Allah. Hal ini berbeda dengan orang yang disibukkan oleh harta dan dunia, padahal harta tidak membersihkan dirinya, tidak menambah sifat kesempurnaan dirinya, yang ada hatinya akan menjadi tamak, rakus, dan kikir.

Sesungguhnya mencintai ilmu dan mencarinya adalah akar segala ketaatan, sedangkan mencintai harta dan dunia adalah akar berbagai kesalahan yang menjerumuskan ke Neraka.

Setiap Muslim dan Muslimah harus mengetahui bahwa orang yang menuntut ilmu adalah orang yang bahagia karena ia mendengarkan ayat-ayat Al-Qur-an, hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan perkataan para Shahabat. Dengannya hati terasa nikmat dan akan membawa kepada kebersihan hati dan kemuliaan.

[11]. Orang Yang Menuntut Ilmu Akan Dido’akan Oleh Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan orang-orang yang mendengarkan sabda beliau dan memahaminya dengan keindahan dan berserinya wajah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Semoga Allah memberikan cahaya pada wajah orang yang mendengarkan sebuah hadits dari kami, lalu menghafalkannya dan menyampaikannya kepada orang lain. Banyak orang yang membawa fiqih namun ia tidak memahami. Dan banyak orang yang menerangkan fiqih kepada orang yang lebih faham darinya. Ada tiga hal yang dengannya hati seorang muslim akan bersih (dari khianat, dengki dan keberkahan), yaitu melakukan sesuatu dengan ikhlas karena Allah, menasihati ulil amri (penguasa), dan berpegang teguh pada jama’ah kaum Muslimin, karena do’a mereka meliputi orang-orang yang berada di belakang mereka.” Beliau bersabda, “Barangsiapa yang keinginannya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan kekuatannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. Namun barangsiapa yang niatnya mencari dunia, Allah akan mencerai-beraikan urusan dunianya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya.” [27]

Seandainya keutamaan ilmu hanyalah ini saja, tentu sudah cukuplah hal itu untuk menunjukkan kemuliaannya. Sebab, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdo’a bagi orang yang mendengar sabda beliau, lalu memahaminya, menghafalnya, dan menyampaikannya. Maka, inilah empat tingkatan ilmu:

Tingkatan pertama dan kedua, yaitu mendengar dan memahaminya. Apabila ia mendengarnya, maka ia pun memahami dengan hatinya. Maksudnya, memikirkan-nya dan menetapkannya di dalam hatinya sebagaimana ditempatkannya sesuatu di dalam wadah yang tidak mungkin bisa keluar darinya. Demikian juga akalnya yang laksana tali kekang unta, sehingga ia tidak lari kesana-kemari. Wadah dan akal itu tidak mempunyai fungsi lain selain untuk menyimpan sesuatu.

Tingkatan ketiga, yaitu komitmen untuk menghafal ilmu agar ilmu tidak hilang.

Tingkatan keempat, yaitu menyampaikan ilmu dan menyebarkannya kepada ummat agar ilmu membuahkan hasilnya, yaitu tersebar luas di tengah-tengah masyarakat.

Barangsiapa melakukan keempat tingkatan di atas, maka ia masuk dalam do’a Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mencakup keindahan fisik dan psikis. Sesungguhnya kecerahan adalah hasil dari pengaruh iman, kebahagiaan batin, kegembiraan hati dan kesenangannya, kemudian hal itu menampakkan kecerahan, kebahagiaan, dan berseri-serinya wajah. Allah Ta’ala berfirman:

“Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan.” [Al-Muthaffifiin: 24]

Jadi, kecerahan dan berseri-serinya wajah seseorang yang mendengar Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu memahami, menghafal, dan menyampaikannya adalah hasil dari kemanisan, kecerahan, dan kebahagiaan di dalam hati dan jiwanya. [28]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan perawi hadits dengan kebaikan dan keelokan wajah, baik di dunia maupun di akhirat. Dikatakan bahwa maknanya adalah Allah Ta’ala menyampaikannya pada kenikmatan Surga.

Perawi hadits yang dido’akan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan keelokan wajah adalah perawi lafazh hadits, meskipun ia belum memahami semua makna hadits. Betapa banyak orang yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faham daripadanya. Meskipun selamanya ia tidak memiliki pemahaman terhadap hadits. Banyak pembawa fiqih yang tidak memiliki pemahaman (yang memadai).

Ini menunjukkan tentang disyari’atkannya meriwayatkan hadits tanpa (harus) memahaminya (terlebih dahulu). Bahkan hal ini menunjukkan disukainya hal tersebut. Juga menunjukkan bahwa meriwayatkan hadits tanpa pengetahuannya terhadap pemahaman hadits tersebut adalah perbuatan terpuji, tidak tercela. Dengan perbuatan itu, ia berhak mendapatkan do’a Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. [29]

[12]. Menuntut Ilmu Adalah Jihad Di Jalan Allah Dan Orang Yang Menuntut Ilmu Laksana Mujahid Di Jalan Allah Ta’ala
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

“Barangsiapa yang memasuki masjid kami ini (masjid Nabawi) dengan tujuan mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, maka ia laksana orang yang berjihad di jalan Allah Ta’ala. Dan barangsiapa yang memasukinya dengan tujuan selain itu, maka ia laksana orang yang sedang melihat sesuatu yang bukan miliknya.” [30]

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah mengatakan, “Jihad melawan hawa nafsu memiliki empat tingkatan:

Pertama: berjihad untuk mempelajari petunjuk (ilmu yang bermanfaat) dan agama yang benar (amal shalih). Seseorang tidak akan mencapai kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat kecuali dengannya.

Kedua: berjihad untuk mengamalkan ilmu setelah mengetahuinya.

Ketiga: berjihad untuk mendakwahkan ilmu dan mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya.

Keempat: berjihad untuk sabar dalam berdakwah kepada Allah Ta’ala dan sabar terhadap gangguan manusia. Dia menanggung kesulitan-kesulitan dakwah itu semata-mata karena Allah.
Apabila keempat tingkatan ini telah terpenuhi pada dirinya, maka ia termasuk orang-orang yang Rabbani. [31]

Abu Darda Radhiyallaahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa berpendapat bahwa pergi mencari ilmu tidak termasuk jihad, sungguh, ia kurang akalnya.” [32]

Berjihad dengan hujjah (dalil) dan keterangan didahulukan atas jihad dengan pedang dan tombak. Allah berfirman kepada Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar berjihad dengan Al-Qur-an melawan orang-orang kafir.

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur-an dengan jihad yang besar.” [Al-Furqaan: 52]

Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan berjihad melawan orang-orang kafir dan munafik dengan cara menyampaikan hujjah (dalil dan keterangan).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata, “Jihad dengan hujjah (dalil) dan keterangan didahulukan atas jihad dengan pedang dan tombak.” [33]

[13]. Pahala Ilmu Yang Diajarkan Akan Tetap Mengalir Meskipun Pemiliknya Telah Meninggal Dunia
Disebutkan dalam Shahiih Muslim, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

“Jika seorang manusia meninggal dunia, maka pahala amalnya terputus, kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akannya.” [34]

Hadits ini adalah dalil terkuat tentang keutamaan dan kemuliaan ilmu serta besarnya buah dari ilmu. Sesungguhnya pahala ilmu tetap diterima oleh orang yang bersangkutan selama ilmunya diamalkan orang lain. Seolah-olah ia tetap hidup dan amalnya tidak terputus. Ini disamping kenangan dan sanjungan yang dialamatkan kepadanya. Tetap mengalirnya pahala untuk dirinya pada saat pahala amal perbuatan telah terputus dari manusia adalah kehidupan kedua baginya.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya mengkhususkan ketiga hal di atas yang pahalanya tetap diterima oleh si mayit karena ia (si mayit) adalah penyebab keberadaan ketiga hal tersebut. Karena ia menjadi sebab terbentuknya anak shalih, shadaqah jariyah, dan ilmu yang bermanfaat, maka pahalanya tetap mengalir kepadanya. Seorang hamba mendapatkan pahala karena tindakannya langsung atau tindakan yang dilahirkan (tindakan tidak langsung) darinya. Kedua prinsip ini disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

“Yang demikian itu ialah karena mereka (para Mujahidin) tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu akan dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal shalih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” [At-Taubah: 120]

Kesemua hal di atas lahir dari tindakan mereka dan tidak ditakdirkan bagi mereka. Yang ditakdirkan bagi mereka ialah sebab-sebabnya yang mereka lakukan secara langsung. Maksudnya, bahwa haus, payah, lapar, dan membangkitkan amarah musuh bukanlah karena (sengaja) mereka lakukan demikian, lalu ditulis jadi amal shalih. Akan tetapi, hal ini timbul dari perbuatan mereka (yaitu jihad fi sabilillaah) karena itu ditulis bagi mereka sebagai amal shalih. [35]

[14]. Dengan Menuntut Ilmu, Kita Akan Berfikir Yang Baik, Benar, Mendapatkan Pemahaman Yang Benar, Dan Dapat Mentadabburi Ayat-Ayat Allah
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullaah mengatakan, “Memikirkan nikmat-nikmat Allah termasuk ibadah yang paling utama.” [36]

Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi hati daripada membaca Al-Qur-an dengan tadabbur dan tafakkur. Karena hal itu mengumpulkan semua kedudukan orang yang berjalan kepada Allah, keadaan orang-orang yang mengamalkan ilmunya, dan kedudukan orang-orang yang bijaksana. Hal inilah yang mewariskan rasa cinta, rindu, takut, harap, kembali kepada Allah, tawakkal, ridha, penyerahan diri, syukur, sabar dan segala keadaan yang dengannya hati menjadi hidup dan sempurna.

Seandainya manusia mengetahui apa yang terdapat dalam membaca Al-Qur-an dengan tadabbur, maka ia akan lebih menyibukkan diri dengannya daripada selainnya. Apabila ia melewati ayat yang dibutuhkannya untuk mengobati hatinya, maka ia akan mengulang-ulangnya meskipun sampai seratus kali, walaupun ia menghabiskan satu malam. Membaca Al-Qur-an dengan memikirkan dan memahaminya lebih baik daripada membacanya sampai khatam tanpa mentadabburi dan memahaminya, lebih bermanfaat bagi hati dan lebih membantu untuk memperoleh keimanan dan merasakan manisnya Al-Qur-an. Membaca Al-Qur-an dengan memikirkannya adalah pokok kebaikan hati. [37]

Al-Hasan al-Bashri rahimahullaah mengatakan, “Al-Qur-an diturunkan untuk diamalkan, maka jadikanlah membacanya sebagai salah satu pengamalannya.” [38]

[15]. Ilmu Lebih Baik Daripada Harta
Keutamaan ilmu atas harta dapat diketahui dari beberapa segi:
Pertama: Ilmu adalah warisan para Nabi, sedangkan harta adalah warisan para raja dan orang-orang kaya.

Kedua: Ilmu akan menjaga pemiliknya, sedangkan pemilik harta menjaga hartanya.

Ketiga: Ilmu adalah penguasa atas harta, sedangkan harta tidak berkuasa atas ilmu.

Keempat: Harta akan habis dengan dibelanjakan, sedangkan ilmu akan bertambah jika diajarkan.

Kelima: Apabila meninggal dunia, pemilik harta akan berpisah dengan hartanya, sedangkan ilmu akan masuk bersamanya ke dalam kubur.

Keenam: Harta dapat diperoleh orang-orang mukmin maupun kafir, orang baik maupun orang jahat. Sedangkan ilmu yang bermanfaat hanya dapat diperoleh orang-orang yang beriman.

Ketujuh: Orang yang berilmu dibutuhkan oleh para raja dan selain mereka, sedangkan pemilik harta hanya dibutuhkan oleh orang-orang miskin.

Kedelapan: Jiwa akan mulia dan bersih dengan mengumpulkan ilmu dan berusaha memperolehnya -hal itu termasuk kesempurnaan dan kemuliaannya- sedangkan harta tidak membersihkannya, tidak menyempurnakannya bahkan tidak menambah sifat kemuliaan.

Kesembilan: Harta itu mengajak jiwa kepada bertindak sewenang-wenang dan sombong, sedangkan ilmu mengajaknya untuk rendah hati dan melaksanakan ibadah.

Kesepuluh: Ilmu membawa dan menarik jiwa kepada kebahagiaan yang Allah ciptakan untuknya, sedangkan harta adalah penghalang antara jiwa dengan kebahagiaan tersebut.

Kesebelas: Kekayaan ilmu lebih mulia daripada kekayaan harta karena kekayaan harta berada di luar hakikat manusia, seandainya harta itu musnah dalam satu malam saja, jadilah ia orang yang miskin, sedangkan kekayaan ilmu tidak dikhawatirkan kefakirannya, bahkan ia akan terus bertambah selamanya, pada hakikatnya ia adalah kekayaan yang paling tinggi.

Kedua belas: Mencintai ilmu dan mencarinya adalah pokok segala ketaatan, sedangkan cinta dunia dan harta dan mencarinya adalah pokok segala kesalahan.

Ketiga belas: Nilai orang kaya ada pada hartanya dan nilai orang yang berilmu ada pada ilmunya. Apabila hartanya lenyap, lenyaplah nilainya dan tidak tersisa tanpa nilai, sedangkan orang yang berilmu nilai dirinya tetap langgeng, bahkan nilainya akan terus bertambah.

Keempat belas: Tidaklah satu orang melakukan ketaatan kepada Allah Ta'ala, melainkan dengan ilmu, sedangkan sebagian besar manusia berbuat maksiat kepada Allah lantaran harta mereka.

Kelima belas: Orang yang kaya harta selalu ditemani dengan ketakutan dan kesedihan, ia sedih sebelum mendapatkannya dan merasa takut setelah memperoleh harta, setiap kali hartanya bertambah banyak, bertambah kuat pula rasa takutnya. Sedangkan orang yang kaya ilmu selalu ditemani rasa aman, kebahagiaan, dan kegembiraan.
Wallaahu a’lam. [39]

[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
___________
Foote Notes
[1]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 21).
[2]. Hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh al-‘Uqaily dalam adh-Dhu’afaa-ul Kabir (I/26), Ibnu Abi Hatim dalam al-Jarh wat Ta’dil (II/17) dan lainnya, dari Ibrahim bin ‘Abdurrahman al-‘Adzry secara mursal. Untuk lebih jelas tentang takhrij hadits ini dapat dilihat dalam Irsyaadul Fuhuul fii Tashhiih Hadiitsil ‘Udul (hal. 11-35) karya Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied al-Hilali.
[3]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 26).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 817).
[5]. Dinukil dari al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 220-221).
[6]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 223).
[7]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 238-239), dengan ringkas.
[8]. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabir (no. 8927) dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jaami’ (II/812, no. 1514).
[9]. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 52).
[10]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 30).
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/131), Abu Dawud (no. 4604), Ibnu Hibban (no. 12) dan lainnya, dari Miqdam bin Ma’di Kariba radhiyallaahu ‘anhu.
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/306, II/234, IV/92, 95, 96), al-Bukhari (no. 71, 3116, 7312), dan Muslim (no. 1037), dari Shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallaahu ‘anhuma.
[13]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 49).
[14]. Syarah Shahiih Muslim lil Imam an-Nawawi (VII/128).
[15]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2322), Ibnu Majah (no. 4112), dan Ibnu ‘Abdil Barr (I/135, no. 135), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih at-Targhib wat Tarhiib (no. 74). Lafazh ini milik at-Tirmidzi.
[16]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (no. 3972) dan al-Bazzar dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallaahu ‘anhu, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (no. 68), lihat juga Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/106, no. 96).
[17]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 133).
[18]. Diriwayatkan oleh al-Khathib dalam al-Faqiih wal Mutafaqqih (I/102, no. 52).
[19]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 133).
[20]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/120, no. 113).
[21]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/211, no. 227).
[22]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 135).
[23]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 141) dan Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/229-230, no. 252 dan 253).
[24]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/230, no. 254).
[25]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/230-231), at-Tirmidzi (no. 2325), Ibnu Majah (no. 4228), al-Baihaqi (IV/ 189), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIV/289), dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (XXII/345-346, no. 868-870), dari Shahabat Abu Kabsyah al-Anmari radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi (II/270, no. 1894).
[26]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarfuhu (hal. 252-253).
[27]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/183), ad-Darimi
(I/75), Ibnu Hibban (no. 72, 73-Mawaarid), Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/175-176, no. 184), lafazh hadits ini milik Imam Ahmad, dari ‘Abdurrahman bin Aban bin ‘Utsman radhiyallaahu ‘anhum. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 404) dan al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 70-74).
[28]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarfuhu (hal. 70-72).
[29]. Lihat Nashaa-ih Manhajiyyah li Thaalibis Sunnah an-Nabawiyyah (hal. 38-39).
[30]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 87-at-Ta’liiqaatul Hisaan), Ibnu Majah (no. 227), Ahmad (II/350, 526-527), Ibnu Abi Syaibah (no. 33061), dan al-Hakim (I/91), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[31]. Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad (III/10). Lihat Syarah Tsa-latsatil Ushuul (hal. 25-26), karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[32]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 145).
[33]. Syarah Qashidah Nuuniyyah (I/12) oleh Syaikh Muhammad Khalil Hirras.
[34]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631), al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (no. 38), Abu Dawud (no. 2880), an-Nasa-i (VI/251), at-Tirmidzi (no. 1376), Ahmad (II/372), al-Baihaqi (VI/ 278), lafazh ini milik at-Tirmidzi. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1580).
[35]. Lihat al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 242-243).
[36]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 254).
[37]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 262).
[38]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 263).
[39]. Lihat kitab al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 160-163).

http://www.almanhaj.or.id

Jika Kita Memikirkan Ilmu, Niscaya Tidak Separah Ini, Insya Allah

فما في الأرض أشقى من محب … وإن وجد الهوى حلو المذاق

تراه باكيا في كل حين … مخافة فرقة أو لإشتياق

فيبكي إن ناؤا شوقا إليهم … ويبكي إن دنو خوف الفراق

فتسخن عينه عند الفراق … وتسخن عينه عند التلاق والعشق وإن استلذ به صاحبه فهو من أعظم عذاب القلب


Tidak ada di dunia ini yang lebih sengsara daripada seorang pencinta…
Meskipun ia merasakan manisnya cinta…
Kamu lihat dia menangis di setiap waktu…
Karena takut berpisah atau karena rindu…

Ia menangis karena rindu akan jauhnya sang kekasih…
Namun, bila kekasihnya dekat…
Ia menangis karena takut berpisah…

Matanya selalu menghangat ketika terjadi perpisahan…
Matanya pun berkaca-kaca ketika pertemuan itu tiba…
Pelakunya memang merasakan kenikmatan…
Namun, sebenarnya…
Kasmaran itu merupakan siksa yang paling besar di hati…


[ lihat dalam: كتاب الجواب الكافي لمن سأل عن الدواء الشافي , karya محمد بن أبي بكر أيوب الزرعي أبو عبد الله (masyhur dengan nama Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah), hal. 151 ]

Hendaknya kita semua bisa mengambil pelajaran.

—akhukum—

abu muhammad al 'ashri
dikutip dari http://alashree.wordpress.com

Kamis, 14 Oktober 2010

Bersabarlah...Sampai Waktunya Tiba


أخلو به فأعف عنه تكرما خوف الديانة لست من عشاقه

كالماء في يد صائم يلتذ به ظمأ فيصبر عن لذيذ مذاقه

Aku berdua dengannya, kujaga kehormatan untuk memuliakannya…

Karena takut kerendahan hingga aku tercampakkan dari cintanya…

Bagaikan air di tangan orang yang berpuasa untuk mencairkan dahaga…

Lalu ia bersabar tuk nikmati kesegarannya….


[lihat dalamكتاب الجواب الكافي لمن سأل عن الدواء الشافي /Jawabul Kaafi li-man Sa-a-la ‘anid-dawaa`i asy-Syaafi/, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah : 157 ]

Sumber:http://alashree.wordpress.com/category/cinta/

Rabu, 13 Oktober 2010

Wahai Orang Berilmu....


Seorang dari salafush shalih berwasiat kepada orang berilmu,

‘Wahai orang berilmu, amalkan ilmumu, berikan kelebihan hartamu, dan tahanlah kelebihan perkataanmu kecuali sedikit pembicaraan, akan bermanfaat bagimu di sisi Tuhanmu.

Wahai orang berilmu, sesuatu yang kamu ketahui tetapi tidak kamu amalkan adalah pemotong argumentasi dan alasanmu di sisi Tuhanmu ketika kamu menemui-Nya.

Wahai orang berilmu, taat kepada Allah yang diperintahkan kepadamu sebenarnya telah menyibukkanmu dari maksiat kepada Allah yang dilarang untukmu.

Wahai orang berilmu, janganlah kamu menjadi orang kuat yang meneropong perbuatan orang lain, namun kamu sendiri manusia lemah dalam mengerjakan (suatu amal) untuk dirimu sendiri.

Wahai orang berilmu, janganlah apa yang dimiliki orang lain, membuatmu lupa terhadap apa yang kamu miliki.

Wahai orang berilmu, ajaklah bicara para `ulama, bergaulah dengan mereka dan dengarkanlah perkataan mereka dan janganlah kamu menentangnya.

Wahai orang berilmu, agungkanlah ulama karena ilmu mereka dan janganlah kamu menghormati orang-orang bodoh karena kebodohan mereka, namun jangan menjauhi mereka, tetapi dekatilah dan ajarilah mereka.

Wahai orang berilmu, janganlah kamu membicarakan suatu hadits di suatu majelis sehingga kamu betul-betul memahaminya, dan janganlah menjawab pertanyaan orang hingga engkau tahu persis apa yang diucapkannya kepadamu.

Wahai orang berilmu, janganlah kamu tertipu oleh Allah dan jangan pula kamu tertipu oleh manusia. Tertipu oleh Allah maksudnya meninggalkan perintah-Nya, dan tertipu oleh manusia maksudnya mengikuti hawa nafsu mereka. Takutlah kepada Allah dalam semua hal yang Dia mengajakmu takut terhadap diri-Nya, dan hindarilah manusia karena fitnah mereka.

Wahai orang berilmu, cahaya siang tidaklah sempurna kecuali dengan matahari, begitu pula hikmah tidak sempurna kecuali dengan menaati Allah subhanallahu wa ta’ala.

Wahai orang berilmu, tanaman tidak baik kecuali dengan air dan tanah, begitu pula dengan iman tidak baik kecuali dengan ilmu dan amal.

Wahai orang berilmu, setiap musafir haruslah berbekal, dan ia dapatkan bekalnya apabila ia dibutuhkannya, begitu pula dengan setiap orang yang beramal, di akhirat akan ia dapatkan apa yang telah diperbuatnya di dunia apabila ia butuhkan amal perbuatannya.

Wahai orang berilmu, Apabila Allah subhanallahu wa ta’ala berkehendak mendorongmu dalam beribadah kepadaNya, ketahuilah bahwa Dia ingin menampakkan karamah-Nya terhadapmu, maka janganlah kamu mengalihkannya kepada selainNya, sehingga kamu tinggalkan kemuliaanNya dan malah kamu dapatkan kehinaan hidup.

Wahai orang berilmu, Jika kamu memindahkan batu atau besi, itu lebih ringan bagimu daripada berbicara kepada orang yang tidak menerima pembicaraanmu, perumpamaan orang yang berbicara kepada orang yang tidak menerima pembicaraannya adalah seperti orang yang memanggil orang mati dan meletakkan hidangan untuk penghuni kubur”.

(Sunan ad-Darimiy; dalam bab: Menghormati Ilmu; Lidwa Pusaka)

http://abuzuhriy.com/

Selasa, 01 Juni 2010

Gaza Kota Kenangan

Lima hari aku di Gaza
Banyak sekali kenangan yang ku dapat
Kenangan tersendiri dalam hidupku

Kenangan berada di negeri jihad
Jihad melawan kezaliman
Jihad melawan keangkuhan
Jihad melawan kebiadaban

Rakyatnya sabar dalam berjuang
Meraih cita-cita yang mulia
Sebagai bangsa yang merdeka dari belenggu penjajahan
Walaupun mereka dijajah berpuluh tahun

Diblokade dua tahun lamanya (sekarang memasuki tahun ke empat)
Tidak menghalangi mereka untuk menghormati tamu
Itulah yang saya rasakan selama lima hari di Gaza



Ucapan salam juga disampaikan dengan senyuman
Yang mempererat tali persaudaraan
Kecintaan mereka terhadap Al Qur’an
Menyentuh lubuk hati yang paling dalam

Walaupun mereka dijajah
Tetapi mencetak Al Qur’an dengan bentuk yang indah
Kertas yang bagus
Di baca setiap saat oleh rakyat Gaza
Terutama anak-anak yang mengikuti program tahfizh Al Qur’an

Untuk tahun ini, tahun 2009
Mereka mentargetkan ada 10.000 orang hafizh yang baru
Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar
Kecintaan mereka terhadap masjid juga menyentuh jiwaku

Walaupun masjidnya dihancurkan penjajah Israel
Mereka masih ke masjid melakukan shalat berjama’ah
Cinta mereka terhadap masjid patut dicontoh

Bahkan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan
Seluruh masjid mengadakan program i’tikaf
Rakyat Gaza mengikuti program i’tikaf tersebut

Bahkan pemimpin mereka Ismail Haniya juga turut serta
Suatu jalinan yang indah antara rakyat dan pemimpinnya
Dalam ketaatan kepada Allah

Menetes air mataku saat meninggalkan kota Gaza
Mereka melepas keberangkatanku juga menangis

Entah kapan aku akan dapat kembali ke Gaza
Kota yang penuh kenangan spiritual dan jihad
Saya hanya berdoa semoga dapat kembali lagi ke Gaza

Dan shalat di masjid Al Aqsha
Kala itu Palestina merdeka
Insya Allah tidak lama lagi


Ditulis di atas pesawat dari Riyadh menuju Jakarta sekembali dari kota Gaza Hasyim, Ahad, 8/2/2009, setelah matahari terbenam gelap menjulang.

-------------------------------------

Insya Allah hari ini, Jum’at, Jumadil Akhir 1431 H/ 21 Mei 2010 M,

Penulis bersama Relawan Kemanusiaan KISPA akan meninggalkan tanah air untuk bergabung dengan “Armada Pembebasan” di Turki selanjutnya dengan 600 orang relawan kemanusian menggunakan 9 kapal laut akan mengarungi samudra luas menuju Kota Gaza Hasyim.

Mohon maaf lahir batin, ikhlaskan apa-pa yang telah kami makan dan minum serta doakan selalu semoga kami selamat, sehat wal ‘afiat dan sentiasa dapat membantu rakyat Gaza, umat nabi Muhammad Shallallahu'alayhi wasallam yang sedang menderita, semoga keberkahan selalu Allah curahkan untuk kita semua.

Jika kami tidak kembali, lanjutkan perjuangan membantu rakyat Palestina meraih kemerdekaannya dan bebaskan Masjid Al Aqsha dari cengkraman tangan kotor zionis Israel.

Aku titipkan anak dan istriku, ahli keluargaku dan harta bendaku kepada

Allah Yang Tidak Pernah Mengantuk, Allah Yang Tidak Pernah Tidur

Alllah Yang Maha Kuasa, Allah Yang Maha Perkasa

Allah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penjaga

Hasbunallah wani’mal wakil ni’mal maula wani’man Nashir

Shalawat dan salam untuk Rasulullah saw, keluarganya dan sahabatnya.

Walhamdulillahirabbil’alamin

Ferry Nur; Ketua KISPA (Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina)

http://www.eramuslim.com/berita/info-umat/gaza-kota-kenangan.htm

Bagaimana Investasi di Jalan Allah? … Ini bukan investasi biasa

Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ

“Barangsiapa memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak” (Al Hadid: 11)

Ibnu Katsir mengatakan bahwa yg dimaksudkan dengan ayat ini adalah berinfaq di jalan Allah secara umum (baik untuk jalan fii sabilillah atau menafkahi keluarga) dengan niat yg ikhlas dan tekad yg jujur, ini semua tercakup dlm ayat di atas.

Kisah yang Menarik

‘Abdullah bin Mas’ud menceritakan bahwa tatkala turun ayat di atas, Abud Dahdaa Al Anshori mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah Allah menginginkan pinjaman dari kita?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Betul, wahai Abud Dahdaa.”
Kemudian Abud Dahdaa pun berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah tanganmu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyodorkan tangannya. Abud Dahdaa pun mengatakan, “Aku telah memberi pinjaman pada Rabbku kebunku. Kebun tersebut memiliki 600 pohon kurma.”

Ummud Dahda, istri dari Abud Dahdaa bersama keluarganya berada di kebun tersebut, lalu Abud Dahdaa datang dan berkata, “Wahai Ummud Dahdaa.” Istrinya mengatakan, “Iya.”

Abud Dahdaa mengatakan, “Keluarlah, aku telah memberi pinjaman kebun inu pd Rabbku”
Dalam riwayat lain, Ummud Dahdaa menjawab, “Engkau telah beruntung dengan penjualanmu, wahai Abud Dahdaa.”

Ummu Dahda pun pergi dari kebun tadi, begitu pula anak-anaknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun terkagum dgn Abud Dahdaa, lalu mengatakan, “Begitu banyak tandan anggur dan harum-haruman untuk Abud Dahdaa di surga.”

(Riwayat ini adalah riwayat yang shahih. Dikeluarkan oleh Abdu bin Humaid dalam Muntakhob dan Ibnu Hibban dalam Mawarid Zhoma’an. Lihat Shahih Tafsir Ibnu Katsir 4/377)

Masya Allah …
Inilah investasi yg baik di jalan Allah. Ini bukan berarti Allah butuh pada pinjaman seorang hamba. Namun sebenarnya, hamba lah yang butuh dengan hal seperti ini, karena ini adalah karunia Allah agr hamba tersebut mendapatkan ganti yanga lebih baik di akhirat.

Cara Mudah Mempelajari Aqidah Ahlus Sunnah (2)

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Bab 2. Metode Salafus Shalih Dalam Penetapan Aqidah
Bab ini mencakup lima pembahasan:
1. Sumber Aqidah
2. as-Sunnah Merupakan Wahyu Yang Terjaga
3. as-Sunnah Merupakan Hujjah
4. as-Sunnah Merupakan Hujjah Yang Mandiri
5. Hadits Ahad Hujjah dalam Aqidah

[1] Sumber Aqidah
Aqidah adalah perkara tauqifiyah, artinya tidak bisa ditetapkan kecuali apabila dilandasi dengan dalil dari Sang pembuat syari’at. Aqidah bukanlah medan pemikiran dan ruang untuk berijtihad. Oleh sebab itu sumber aqidah itu hanya terbatas pada apa yang dijelaskan di dalam al-Kitab maupun as-Sunnah. Sebab, tidak ada yang lebih mengetahui tentang Allah dan apa yang wajib baginya serta perkara-perkara yang Allah tersucikan darinya selain Allah sendiri. Dan tidak ada selain Allah orang yang lebih mengerti tentang hal itu selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu manhaj/metode salafus shalih dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam mengambil aqidah adalah terbatas pada al-Kitab dan as-Sunnah (lihat Kitab at-Tauhid li as-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 11)
[2] as-Sunnah Merupakan Wahyu Yang Terjaga
Yang dimaksud dengan Sunnah di sini adalah segala sesuatu yang ditetapkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam selain daripada apa yang telah disebutkan di dalam al-Qur’an. Apa saja yang beliau sampaikan -dalam urusan agama ini- pada hakekatnya merupakan wahyu dari Allah ta’ala, bukan hasil rekayasa pemikiran beliau.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah dia -Muhammad- berbicara dari hawa nafsunya, akan tetapi itu semata-mata wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. an-Najm: 3-4).

Dan Allah ta’ala telah berjanji untuk menjaga wahyu yang diturunkan kepada Nabi-Nya, sebagaimana ditegaskan oleh-Nya dalam ayat (yang artinya), “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr dan Kami pula yang akan menjaganya.” (QS. al-Hijr: 9)
(lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 71-72)
Syubhat: Sebagian orang beranggapan bahwa kita tidak mungkin berpegang dengan as-Sunnah/hadits karena hadits itu baru dituliskan beberapa ratus tahun setelah meninggalnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jawaban: Tuduhan bahwa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru dituliskan beberapa ratus tahun setelah wafatnya adalah dugaan yang keliru dan ucapan tanpa bukti. Di antara dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa suatu ketika seorang penduduk Yaman bernama Abu Syah meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dituliskan apa yang dia dengar dari khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun penaklukan kota Mekah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tuliskanlah -isi khutbahku- untuk Abu Syah.” (lihat Fath al-Bari [1/250-251], Syarh Muslim [5/256-257]).
Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Tidak ada seorang pun sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih banyak haditsnya daripada aku kecuali apa yang ada pada Abdullah bin Amr, karena dia selalu mencatat sedangkan aku tidak mencatat.” (lihat Fath al-Bari [1/251])
Dalil lainnya, adalah hadits yang riwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim dll dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, beliau berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya senantiasa mendengar apa yang anda sampaikan kemudian saya pun mencatatnya.” Beliau menjawab, “Iya.” Abdullah berkata, “Dalam keadaan -anda- murka ataupun ridha?”. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya. Karena sesungguhnya aku tidak mengucapkan kecuali kebenaran.” (lihat hadits yang lainnya dalam al-Hadits an-Nabawi oleh Dr. Muhammad Luthfi, hal. 42-43)
[3] as-Sunnah Merupakan Hujjah
Sunnah dalam terminologi ahli ushul merupakan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selain al-Qur’an. Maka dalam pengertian ini, sunnah itu mencakup ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, perbuatannya, persetujuannya, tulisan yang beliau tinggalkan, isyarat yang beliau berikan, tekad dan juga sikap beliau dalam meninggalkan sesuatu.
Dalam makna ini maka sunnah itu bisa disamakan dengan istilah al-Hikmah yang sering disebutkan beriringan dengan al-Kitab di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Seperti misalnya, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah menurunkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah, dan Allah mengajarkan kepadamu apa-apa yang kamu tidak ketahui, dan karunia Allah atas dirimu sungguh sangat besar.” (QS. an-Nisaa’: 113).

Oleh sebab itu Imam asy-Syafi’i rahimahullah menukil keterangan ulama ahli tafsir bahwa yang dimaksud dengan al-Hikmah di sini adalah Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 122)
Kaum muslimin telah sepakat mengenai wajibnya taat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keharusan untuk mengikuti Sunnahnya. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun Sunnah ini, apabila ia telah terbukti keabsahannya maka segenap kaum muslimin telah sepakat mengenai kewajiban untuk mengikutinya.”
Di antara dalil-dalil yang melandasinya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Katakanlah: taatilah Allah dan taatilah Rasul, apabila kalian berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir itu.” (QS. Ali Imran: 32).
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Hendaknya merasa takut orang-orang yang menyelisihi urusan rasul itu, karena mereka akan tertimpa fitnah atau merasakan siksaan yang sangat pedih.” (QS. an-Nur: 63).
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidak pantas bagi seorang beriman lelaki ataupun perempuan apabila Allah dan rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara kemudian ternyata masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam menyelesaikan urusan mereka.” (QS. al-Ahzab: 36).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian, apabila kalian berselisih tentang perkara apa saja maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul, apabila kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. an-Nisaa’: 59).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan al-Kitab dan yang semisal dengannya bersama hal itu.” (HR. Abu Dawud, dll).
Beliau juga bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah itu sama kedudukannya dengan apa yang diharamkan oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah)
(lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 124-125)
[4] as-Sunnah Merupakan Hujjah Yang Mandiri
Sunnah dapat dibagi menjadi tiga bagian apabila ditinjau dari keterkaitannya dengan dalil-dalil al-Qur’an. Pertama: Sunnah yang menjadi penegas; yaitu Sunnah yang sama persis kandungannya dengan kandungan dalil atau ayat al-Qur’an dari segala sisi. Kedua: Sunnah yang menjadi penjelas atau penafsir terhadap perkara-perkara yang disebutkan secara global saja oleh ayat al-Qur’an. Ketiga: Sunnah yang bersifat mandiri atau menambahkan sesuatu yang memang tidak disinggung di dalam al-Qur’an. Sunnah semacam ini bisa berupa keterangan mengenai wajibnya sesuatu yang hukumnya didiamkan oleh al-Qur’an, artinya al-Qur’an tidak membicarakan mengenai wajibnya hal itu. Atau bisa juga berupa keterangan mengenai haramnya sesuatu yang hukumnya didiamkan oleh al-Qur’an, artinya al-Qur’an tidak membicarakan mengenai haramnya hal itu (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 123)

Yang dimaksud di sini adalah hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbicara tentang suatu perkara yang tidak disebutkan oleh al-Qur’an. Hadits-hadits semacam itu biasa disebut para ulama dengan istilah Sunnah Istiqlaliyah atau Sunnah Za’idah. Kaum salaf telah sepakat bahwasanya wajib mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, entah itu yang sifatnya memberikan keterangan yang serupa, menafsirkan, atau yang memberikan keterangan tambahan yang tidak ada di dalam al-Qur’an. Dalilnya adalah dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban berhujjah dengan as-Sunnah, karena dalil-dalil itu bersifat umum dan tanpa pembatasan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menaati rasul sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80).
Ibnu Abdil Barr berkata, “Allah jalla wa ‘azza memerintahkan untuk taat kepada-Nya -yaitu rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam- serta mengikutinya dengan perintah yang mutlak dan global tanpa memberikan batasan apapun, sebagaimana Allah memerintahkan kita untuk mengikuti Kitabullah, sementara Allah juga tidak mengatakan; ‘Cocokkan dulu dengan Kitabullah’ sebagaimana pendapat sebagian kelompok menyimpang.”
Adapun sebuah hadits yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bunyinya, “Apa saja yang datang dariku kepada kalian hendaklah kalian hadapkan kepada Kitab Allah. Kalau sesuai dengan Kitab Allah maka itu berarti aku memang mengucapkannya, dan apabila ternyata menyelisihi Kitab Allah maka aku tidak pernah mengucapkannya…” Ini adalah hadits palsu yang dibuat-buat oleh kaum Zindiq dan Khawarij sebagaimana ditegaskan oleh Abdurrahman bin Mahdi (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 126)
[5] Hadits Ahad Hujjah Dalam Aqidah
Hadits/khabar ahad dalam istilah ahil ushul adalah selain mutawatir -hadits mutawatir ialah yang banyak jalur periwayatannya-, sehingga yang disebut khabar ahad adalah semua khabar/hadits yang tidak memenuhi syarat mutawatir. Sesungguhnya khabar ahad itu merupakan hujjah/landasan dalam hal hukum maupun akidah tanpa ada pembedaan di antara keduanya, dan hal ini merupakan perkara yang disepakati oleh para ulama salaf.
Dalil yang menunjukkan wajibnya menerima khabar ahad dalam persoalan-persoalan akidah adalah dalil-dalil yang mewajibkan beramal dengan khabar ahad, sebab dalil-dalil tersebut bersifat umum dan mutlak tanpa membeda-bedakan antara satu persoalan (bidang ilmu) dengan persoalan yang lain. Kemudian, selain itu pendapat yang menyatakan bahwa khabar ahad tidak diterima dalam masalah akidah akan melahirkan konsekuensi tertolaknya banyak sekali akidah sahihah. Pembedaan perlakuan terhadap hadits yang berbicara masalah hukum dengan hadits yang berbicara masalah akidah adalah perkara baru yang tidak diajarkan oleh agama, dikarenakan pembedaan ini tidak berasal dari salah seorang sahabat pun, demikian juga tidak dibawa oleh para tabi’in atau pengikut mereka, dan hal itu juga tidak dibawakan oleh para imam Islam, akan tetapi pembedaan ini hanyalah muncul dari para pemuka ahli bid’ah dan orang-orang yang mengikuti mereka (diringkas dari Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 148-149).

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan di dalam kitabnya Muhtashar Shawa’iq (2/412) sebagaimana dinukil oleh Syaikh al-Albani rahimahullah, “Pembedaan ini -antara masalah akidah dan amal dalam hal keabsahan berhujjah dengan hadits ahad- adalah batil dengan kesepakatan umat. Karena hadits-hadits semacam ini senantiasa dipakai sebagai hujjah dalam perkara khabar ilmiah -yaitu akidah- sebagaimana ia dipakai untuk berhujjah dalam perkara thalab/tuntutan dan urusan amaliah…” (lihat Muntaha al-Amani, hal. 117, baca pula keterangan Syaikh Abdullah al-Fauzan dalam kitabnya Syarh al-Waraqat, hal. 214)
Betapa indah ucapan Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah, “Semua yang datang di dalam al-Qur’an atau sahih dari al-Mushthafa -yaitu Nabi Muhammad- ‘alaihis salam yang berbicara tentang sifat-sifat ar-rahman maka wajib beriman dengannya dan menerimanya dengan kepasrahan dan penuh penerimaan…” (Lum’at al-I’tiqad, yang dicetak bersama Syarh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dengan tahqiq Asyraf bin Abdul Maqshud, hal. 31)
Catatan: Apabila kita cermati ucapan emas Ibnu Qudamah di atas, maka akan teranglah bagi kita bahwa keyakinan bahwa hadits sahih -termasuk di dalamnya hadits sahih yang berstatus ahad- merupakan hujjah dalam hal aqidah merupakan keyakinan para imam ahlus Sunnah di sepanjang jaman, bukan hasil ijtihad pemikiran Ibnu Taimiyah atau Ibnul Qayyim rahimahumallah -sebagaimana disangka oleh sebagian orang-. Dari mana bisa kita simpulkan demikian? Perhatikanlah… Ibnu Qudamah hidup antara tahun 541-612 H. Adapun Ibnu Taimiyah hidup antara tahun 661-728 H. Demikian pula Ibnul Qayyim hidup antara tahun 691-751 H. Ini artinya Ibnu Qudamah lebih dahulu hidup dan lebih dahulu meninggal daripada Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Apakah kita akan mengatakan bahwa Ibnu Qudamah telah mengekor kepada Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim?! Subhanallah… betapa aneh dan ganjilnya logika berpikir semacam itu..
Lebih daripada itu semua kalau kita mau cermati sebuah ungkapan yang sangat populer dari para imam yang empat -yang notabene mereka ada sebelum Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim- “Apabila hadits itu sahih maka itulah madzhab/pandanganku.” Aduhai, apakah kita akan mengatakan bahwa yang mereka maksud dengan ucapan itu hanya dalam masalah fiqih/hukum saja? Sejak kapan mereka berkata demikian dan mana buktinya? Lalu apakah kita juga akan mengatakan bahwa imam yang empat mengekor kepada Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim?! Subhanallah, keajaiban apalagi yang ingin mereka ciptakan?! Allahul musta’aan.

Lezatnya Ketaatan Yang Dipertanyakan

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Banyak orang mengira bahwa menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya merupakan sebuah upaya yang sama sekali tidak menyenangkan, apatah lagi mendatangkan kelezatan. Namun, sebenarnya hal ini adalah sebuah perkara yang sudah dijelaskan oleh agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan manisnya iman, orang yang merasa ridha Allah sebagai rabbnya, islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai nabinya.” (HR. Muslim). Jelas sekali dari hadits yang mulia ini bahwa dengan sebab ketaatan seorang hamba akan bisa merasakan kenikmatan berupa manisnya keimanan.

Mengapa anggapan negatif semacam itu muncul, sehingga mengesankan bahwa jalan agama merupakan jalan yang tidak menjanjikan kenikmatan apa-apa? Banyak faktor yang mengelabui manusia sehingga membuat mereka memiliki persepsi yang salah semacam itu. Di antaranya adalah unsur kecintaan kepada dunia -yang notabene sementara dan fana- dan melupakan akherat -padahal akherat itu kekal dan abadi-. Dunia, dengan segenap perhiasannya telah banyak menipu orang. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, maka akan Kami sempurnakan baginya balasan amalnya di sana dan mereka tak sedikitpun dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak mendapatkan apa-apa di akherat kecuali neraka dan lenyaplah apa yang mereka perbuat serta sia-sia apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16)

Gara-gara dunia, sebagian orang pun rela menjual agamanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah dalam melakukan amal-amal, sebelum datangnya fitnah-fitnah bagaikan potongan-potongan malam yang gelap gulita, sehingga membuat seorang yang di pagi hari beriman namun di sore harinya menjadi kafir, atau sore harinya beriman namun di pagi harinya menjadi kafir, dia menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan duniawi semata.” (HR. Muslim)

Berbicara soal cinta dunia, tak bisa lepas dari godaan harta, wanita, ataupun tahta. Iblis dan bala tentaranya telah sekian lama berkecimpung dalam dunia ‘fitnah’ ini untuk menjebak manusia ke jurang-jurang kebinasaan, melalui pintu harta, wanita, atau tahta. Soal harta, bukanlah perkara yang ringan. Sampai-sampai seorang sahabat yang mulia sekelas Umar bin Khattab pun mengakui dalam sebuah ucapannya, “Ya Allah, kami tidak mampu melainkan merasakan gembira terhadap sesuatu yang Kamu hiasi/jadikan indah bagi kami -yaitu harta, wanita, dan anak-anak-. Ya Allah, maka aku memohon kepada-Mu agar dapat menginfakkannya di jalannya yang benar.” (HR. Bukhari secara mu’allaq).

Karena banyaknya orang yang tertipu oleh harta, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengingatkan kepada mereka. Beliau bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya perbendaharaan dunia. Akan tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah rasa cukup di dalam hati.” (HR. Bukhari).

Siapa yang mengatakan bahwa dengan dua atau tiga lembah emas manusia akan merasa cukup, dengan gaji dua atau tiga ratus juta per bulan orang akan merasa puas, siapa yang mengatakan…? Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah mempersaksikan, “Seandainya anak Adam itu memiliki dua lembah emas niscaya dia akan mencari yang ketiga. Dan tidak akan mengenyangkan rongga/perut anak Adam selain tanah. Dan Allah akan menerima taubat siapa pun yang mau bertaubat.” (HR. Bukhari)

Di sisi lain, orang-orang yang berpeluh keringat dan pusing tujuh keliling di atas jalan ketaatan merasakan bahwa apa yang mereka lakukan tidak mendatangkan keuntungan duniawi apa-apa. Waktu mereka ‘terbuang’, harta mereka ‘berkurang’, keinginan mereka terkekang; seolah-olah dunia ini telah menjadi sebuah penjara besar yang memasung segala keinginan dan harapan mereka untuk mencapai kenikmatan.

Janganlah anda heran, sebab memang demikianlah keadaan orang-orang yang belum mengenali karakter kehidupan dunia dan kebahagiaan sejati yang akan dirasakan oleh setiap mukmin di dalamnya. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Dunia ini laksana seorang wanita pelacur yang tak pernah mau setia kepada satu suamipun melainkan sebatas harga transaksi pelacuran…” Maka orang yang tertipu oleh dunia adalah orang yang rela menjual agama dan kehormatannya demi meraih kenikmatan semu yang berakhir dengan siksa, kepedihan, dan penyesalan.

Padahal, para ulama salaf kita mengatakan, “Sesungguhnya di dunia ini ada sebuah surga, barangsiapa yang tidak memasukinya niscaya dia tidak akan memasuki surga di akherat.” Sebagian mereka juga berkata, “Banyak para penghuni dunia yang keluar dari alam dunia sementara mereka belum merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.” Kenikmatan itu tiada lain adalah mengenal Allah dan merasa tentram dengan segala keputusan-Nya.

Itulah orang yang bisa merasakan kelezatan iman, apabila dia mencintai maka cintanya karena Allah, apabila dia membenci maka bencinya karena Allah, apabila dia memberi maka pemberiannya juga karena Allah, demikian pula apabila tidak memberi maka hal itu pun karena Allah.. Oleh sebab itu, Allah ta’ala mensifati orang-orang beriman dengan sifat-sifat yang menggambarkan kelapangan dada mereka terhadap apa yang ditetapkan-Nya. Allah menggambarkan bahwa hati mereka tidak merasa sempit atas apa yang diputuskan oleh Rasul-Nya. Hati mereka bergetar saat teringat kepada-Nya, dan bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka, dan mereka tidak menggantungkan harapan kecuali kepada-Nya semata.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin lelaki ataupun perempuan, apabila Allah dan rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka alternatif lain dalam urusan mereka…” (QS. al-Ahzab: 36). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sekali-kali mereka itu tidaklah beriman, sampai mereka menjadikanmu -Muhammad- sebagai hakim atas segala yang mereka perselisihkan di antara mereka, lalu mereka tidak mendapati rasa sempit di dalam hati mereka atas keputusan yang kamu berikan, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa’: 65). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetar/takutlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka semakin bertambahlah keimanan mereka. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabbnya.” (QS. al-Anfaal: 2)

Dan mereka -kaum beriman- adalah orang-orang yang tidak menyimpan keraguan terhadap apa yang dijanjikan oleh Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ketika orang-orang yang beriman melihat golongan-golongan yang bersekutu itu -untuk menghancurkan pasukan Islam- maka mereka berkata, ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan rasul-Nya, dan Maha benar Allah dan rasul-Nya.’ Dan tidaklah hal itu melainkan menambahkan kepada mereka keimanan dan kepasrahan.” (QS. al-Ahzab: 22). Sebaliknya, kalau kita perhatikan sosok orang-orang kafir dan munafik, maka Allah mensifati mereka dengan keragu-raguan terhadap janji Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika orang-orang munafik serta orang-orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit itu mengatakan: Yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kami hanya tipu daya belaka.” (QS. al-Ahzab: 12). Maka di posisi mana kita berada?

http://abumushlih.com/lezatnya-ketaatan-yang-dipertanyakan.html/

Rabu, 12 Mei 2010

Cara Mudah Mempelajari Aqidah Ahlus Sunnah (1)

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

Bab 1. Pengantar Aqidah Ahlus Sunnah
Bab ini mencakup tujuh pembahasan:
1.Makna Aqidah
2.Urgensi Aqidah
3.Makna as-Sunnah
4.Ahlus Sunnah wal Jama'ah
5.Nama Lain Ahlus Sunnah wal Jama'ah
6.Makna Salaf
7.Kewajiban Mengikuti Manhaj Salaf

[1] Makna Aqidah

Secara bahasa aqidah berarti mengikatkan sesuatu. Kalau dikatakan bahwa seseorang meng-i'tiqadkan sesuatu maka itu maknanya dia telah mengikatkan keyakinan itu di dalam hatinya. Yang dimaksud dengan istilah aqidah adalah segala sesuatu yang menjadi ideologi bagi seseorang. Aqidah adalah amalan hati yang berupa keimanan di dalam hati terhadap sesuatu dan pembenaran/tashdiq tentangnya. Pokok-pokok aqidah Islam biasa dikenal dengan istilah rukun Islam, yaitu mencakup: iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan iman kepada takdir (lihat at-Tauhid li ash-Shaff al-Awwal al-'Aali, hal. 9).

[2] Urgensi Aqidah

Berikut ini beberapa dalil yang menunjukkan betapa penting kedudukan aqidah:

1.Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatupun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. al-Kahfi: 110). Ayat ini menunjukkan bahwa aqidah yang benar merupakan asas tegaknya agama dan syarat diterimanya amalan (lihat at-Tauhid li ash-Shaff al-Awwal al-'Aali, hal. 9). Hal ini semakin jelas dengan ayat berikut ini...

2.Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah Kami wahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu, seandainya kamu berbuat syirik niscaya akan lenyap seluruh amalmu dan kamu pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65)

3.Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36). Ayat ini menunjukkan bahwa fokus dakwah para rasul yang paling utama adalah untuk memperbaiki aqidah; agar umat menyembah Allah semata dan meninggalkan peribadahan kepada selain Allah (lihat at-Tauhid li ash-Shaff al-Awwal al-'Aali, hal. 10). Hal ini semakin jelas dengan ayat berikut ini...

4.Allah ta'ala berfirman mengenai seruan para rasul kepada kaumnya (yang artinya), “Sembahlah Allah saja, tidak ada bagi kalian satupun sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A'raaf: 59,65,73,85). Ucapan ini dikatakan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu'aib dan segenap nabi 'alaihimush sholatu was salam kepada kaumnya (lihat at-Tauhid li ash-Shaff al-Awwal al-'Aali, hal. 10).

[3] Makna as-Sunnah

Secara bahasa as-Sunnah bermakna jalan atau perjalanan. Menurut istilah ahli hadits Sunnah adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau sifat perilaku baik hal itu terjadi sebelum beliau diutus sebagai nabi ataupun sesudahnya. Menurut istilah ahli ushul Sunnah adalah hukum yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak disebutkan secara tegas di dalam al-Qur'an, baik hal itu merupakan penjelas ayat ataupun bukan. Adapun menurut ulama fikih maka Sunnah diartikan sebagai perkara yang bukan wajib, yaitu apabila dikerjakan berpahala dan kalau ditinggalkan tidak berdosa. Namun yang dimaksud dengan istilah Sunnah oleh para ulama salaf adalah lebih luas cakupannya daripada itu semua. Menurut mereka Sunnah itu adalah: kesesuaian dengan al-Kitab dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam serta pemahaman para sahabatnya, baik hal itu mencakup perkara aqidah maupun perkara ibadah. Lawan dari istilah Sunnah itu adalah bid'ah (lihat Kun Salafiyan 'alal Jaddah, hal. 25-26).

[4] Makna Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah telah dikenal oleh para sahabat. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu'anhuma mengenai tafsir firman Allah ta'ala (yang artinya), “Pada hari itu -kiamat- maka akan memutih berseri wajah-wajah dan akan menghitam legam wajah-wajah yang lain.” (QS. Ali Imran: 106). Ibnu Abbas berkata, “Yaitu akan memutih wajah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, dan akan menghitam legam wajah Ahlul Bid'ah wal Furqah.” (Tafsir Ibnu Katsir [1/390] sebagaimana dinukil dalam Mu'taqad Ahlus Sunnah, hal. 63)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan bahwa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah itu adalah: “Orang-orang yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam serta segala sesuatu yang telah disepakati oleh para pendahulu yang pertama dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.” (Majmu' Fatawa [2/375] sebagaimana dinukil dalam Kun Salafiyan 'alal Jaddah, hal. 32).

maaf karena artikel panjang maka silahkan baca selengkapnya di
http://abumushlih.com/

Rabu, 07 April 2010

Sya'ir Imam Asy Syaafi'i Rahimahullah

Imam Asy-Syafi'i Rahimahullah melantunkan bait-bait syairnya,,,


"Jika seseorang tidak menemuimu kecuali dengan terpaksa,

maka biarkanlah dia dan janganlah terlalu menyesalinya.

Pada diri manusia ada pengganti dan jauhnya mereka adalah ketenangan,

Dalam hati terdapat kesabaran bagi yang dicintai sekalipun dia bersikap kasar,,



Tidak setiap yang kamu cintai, hatinya mencintaimu,

Tidak setiap orang yang kamu berlaku tulus kepadanya, dia berlaku tulus kepadamu,

Sekalipun jernihnya kasih sayang bukan sebuah tabiat,

Maka tidak ada kebaikan pada cinta yang dipaksakan,,


Tidak ada kebaikan pada teman yang menghianati temannya,

Membalas kasih sayang dengan sikap kasar,

Mengingkari kehidupan yang telah diikatkan janjinya,

Menampakkan rahasia yang mulanya masih tersembunyi,,



Selamat tinggal untuk dunia jika bukan karenanya,

teman setia akan menepati janji dengan seadil-adilnya.."



♥ Diwan Imam Asy-Syafi'i
Syaikh M. Abdul Athi Buhairi

Senin, 29 Maret 2010

Di Rumahku Ada Seorang Mujahid

Saudariku yg dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
“Dan barang siapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan kemenangan yang besar” QS Al Ahzaab : 71....

Saudariku yg dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta'ala, di kehidupan kita tiada kebahagiaan yang sempurna, selain kebahagiaan seseorang dalam rumah tangganya,
dan kebahagiaannya di akhirat kelak. Begitu pula, tiada penderitaan yang paling menyakitkan, selain penderitaan dalam kehidupan rumah tangganya dan penderitaannya kelak di akhirat.....

Maka siapa saja yg merasa bahagia, dalam menjalani rumah tangganya, diapun pasti akan bahagia dalam menjalani hidup sesamanya. Begitu pula sebaliknya, jika dia merasakan kehilangan ketenangan jiwa didalam kehidupan rumah tangganya, maka kehidupannya dengan bersama yang lainpun akan terasa membosankan dan menyusahkan.....

Saudariku, taukah kamu? Kebahagiaan bukanlah bintang ajaib, yang jatuh kepada setiap orang, lantas kita akan merasakannya dan siapa yang tidak mendapatkan bintang itu, maka hidupnya akan menderita dan susah. Akan tetapi kebahagiaan terjadi dil uar kemampuan manusia, terjadi di luar ambang batas kesanggupan manusia, dan itu hanya bisa diraih dengan tekad yang kuat, usaha dan juga kerja keras. Kebahagiaan yang penuh aral melintang, dan juga batu terjang menghadang, kebahagiaan hakiki yang menjadi janji Rabbull ‘Izzati. Kebahagiaan yang tak jarang orang mati dalam meniti, hingga menjadikan sedikit sekali orang merindukannya, karena indahnya dunia,
Indahnya dunia dan banyaknya harta, telah melenyapkan dan mengalahkan janji Rabbnya.....

Saudariku yg dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta'ala, satu–satunya yang dapat menghantarkan kita ke dalam kebahagiaan, dan ketenangan di dunia, serta keselamatan dan keberuntungan kita di akhirat kelak, adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan yang menuntut keikhlasan, ketaatan yang tidak menjadikan hati menjadi berat, ketaatan yang menuntut penerimaan yang tulus dalam diri kita, ketaatan yang menuntut pengorbanan, harta, keluarga, bahkan jiwa sekalipun dalam diri kita. Oleh kerana itu Saudariku yg dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sungguh indah bila tatanan rumah tangga dihiasi dengan bingkai ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Alangkah bahagianya bila suamimu adalah orang yang selalu mendermakan hidup, harta dan jiwanya untuk meraih kemuliaan di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, Keningnya senantiasa tunduk karena sujud, Lisannya tak pernah lelah karena berzikir, Keringatnya tak pernah kering dari amaliyah nya dan Debu dan luka yang selalu menyelimuti tubuh dan pakaiannya, hanya karena kecintaannya berjuang di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala....Ya Allah

Engkau…Ya, engkau dan anakmu, tak pernah memalingkannya untuk meraih kemuliaan di sisi Rabbnya, justru suamimu akan menjadikanmu dan anakmu sebagai bahtera yang menyelamatkan kehidupannya dan bukan sebagai penghalang atau penghancur kebahagiaannya. Suamimu akan selalu menanamkan sikap Qona’ah dan juga keperwiraan kepada keluarganya juga tidak pernah berkecil hati dengan segala pemberian Rabbnya.....

Saudariku yg dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta'ala, alangkah mulianya bila dirimu mendermakan hidup, harta dan jiwamu meraih kemuliaan disisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, kemuliaanmu akan kamu raih dengan ketaatanmu kepada suamimu, selalu menjaga rahasia, harta, dan kehormatan suamimu. Kerana taukah kamu?? Bila surga dan nerakamu terletak pada ketaatanmu kepadanya, biarkanlah bibirmu yang merah merekah selalu tersenyum simpul dengan pemberian suamimu yang tercinta, biarkanlah dari tanganmu yang lembut dan mulia tumbuh dan berkembang sosok-sosok perwira. Malammu selalu dihidupkan untuk berdo’a memohon dan merdo’a kepada Rabbul ‘Izzati demi kemuliaan diri, anak dan suamimu. Kamu tidak akan pernah rela bila suamimu tergoda oleh ni’mat dunia yang fana dan hatimu pun tidak akan pernah tenang bila suamimu lari dari ladang perjuangan, kamupun tidak ingin menjadi penghalang suamimu tuk meraih kemuliaannya. Oleh karena itu saudariku, banggalah dengan dirimu, banggalah dengan keadaanmu, kerana kamu adalah isteri seorang Mujahid.....
Ya…Kamu istri seorang Mujahid dan kamu bukannlah istri seorang konglomerat. Kalau suamimu atau kamu ingin meninggalkan Jihad ini dan kerja siang malam setengah mati, mungkin saja rezekinya di sana dan akan memberikan tambahan wang atau harta untuk kamu, keluargamu atau anak-anakmu. Tetapi kamu? Kamu akan mendapatkan banyak sekali kerugian dikehidupan duniamu ini. Taukah kamu wahai saudariku?? Seorang suami yang jauh dari Jihad, jauh dari zikir, dan jauh dari Islam, dia akan senang bermain di luar, berkhianat dil uar dan dia tidak akan pernah bisa mendidik juga tidak pernah bisa membuat anak–anaknya menjadi orang–orang yang berjiwa mulia....

Saudariku, akhirnya wajah kamu akan menua,keriput, layu, mengenang masa lalu yang kelam, tapi jangan lupa wahai saudariku, jangan pernah lupa, kalau di rumahmu ada seorang Mujahid, Ooh…sungguh suatu kebanggaan tersendiri di rumahku ada seorang Mujahid, suatu kebanggaan luar biasa seorang wanita mempunyai suami seorang Mujahid. Boleh jadi dia seorang yang tak punya, boleh jadi dia seorang yang tak perkasa, namun itu semua tak mengapa karena dia mulia di mata Rabbnya....

Saudariku yg dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta'ala, apalah arti keindahan? Karena keindahan itu di hati. Apalah erti dari sebuah kekayaan? Karena kakayaan itu adalah hati dan iman. Jangan pernah kau sakiti dia, jangan..jangan pernah engkau sakiti dia. Siapa tau dia telah mempunyai seorang isteri di syurga sana, sedang memarahimu dan mengatakan “Biar..Biarkanlah dia, biarkanlah dia jangan kau ganggu suamiku”.....

Saudariku, jangan sampai malaikat mencercamu, kerana kamu telah memisahkan sang Mujahid di malam hari, dan menggerutuinya di pagi hari.
Demi Allah..Demi Allah kehidupanmu akan susah, dan perjalananmu akan terasa berat bila kamu menyulitkannya, tidakkah kamu ingin kembali berkumpul bersamanya kelak di Jannah???
Oh..sebuah kebanggaan tersendiri, di rumahku ada seorang mujahid