Selasa, 17 Juli 2012

Karena Aku Akhwat, Maka Kudamba Ikhwan


Bismillah
Saya tiba-tiba ingat saja pesan Syaikh Dr. Isa Al Masylami hafidzhahullah di penghujung ta’lim beberapa pekan lalu. Beliau mengatakan, “Hendaknya ikhwan tidak menikah kecuali dengan akhwat, dan hendaknya akhwat tidak menikah kecuali dengan ikhwan”.
Jika dilihat dari realita di lapangan, memang ini sudah menjadi sesuatu yang dicitakan setiap akhwat dan ikhwan. Sebenarnya, setiap muslimah adalah akhwat, dan setiap muslim adalah ikhwan (mengalami penyempitan makna dalam bahasa Indonesia).
Akan tetapi, maksud saya “akhwat” di sini adalah muslimah yang agak beda dari biasanya. Lebih eksklusif (positif), langka, mahal, dan tidak sembarangan. Sifat itu hadir karena dari suluknya yang senantiasa tertutup rapat hijab, dan di jiwanya ada kerinduan yang besar terhadap akhirat. Kesenangannya bukan berada di keramaian, melainkan di taman-taman surga. Malamnya bukan untuk menongkrongi kotak ajaib bernama TV, melainkan dihiasi sujud dan istighfar kepada Rabbnya. Bacaan kesukaannya bukan buku Teori Relativitas Einstein, Giancoli, Tipler, atau semacamnya, melainkan Kitabullah. Tapi anda jangan membayangkan akhwat itu seorang bidadari yang luput dari cela dan hina. Dengan mata laksana yaqut, kulit bening, dan segala kelebihan yang Allah dan rasuNya sifatkan dalam Kitabullah dan Sunnah. Mereka hanya wanita akhir zaman yang senantiasa berusaha menambatkan hati pada sebuah buhul yang dengannya ia akan selamat dan berbahagia hingga menemui Sang Terkasih, Allah Azza wa Jalla. 

Adapun “ikhwan” yang saya maksud adalah, lelaki muslim yang dunia hanya dia letakkan di tangan sedang akhirat memenuhi hatinya. Lelaki yang suluknya senantiasa bertasyabbuh terhadap Rasulullah yang mulia, populernya, celana cingkrang dan janggut yang bertengger di dagu. Jiwanya selalu merindu Jannah, sehingga anggota tubuhnya pun tidak pernah dia relakan untuk bermaksiat. Idolanya bukan Christian Ronaldo, Messi, atau Mesut Ozil, melainkan Rasul terakhir penyempurna risalah. Hatinya tepaut di masjid dan wajahnya bercahaya karena air wudhu. Tapi, anda jangan membayangkan ikhwan adalah seorang malaikat, yang tak pernah jatuh pada kesalahan. Mereka hanyalah lelaki akhir zaman yang berusaha meniti jalan berduri dengan segenap kehati-hatian demi mengobat kerinduannya tuk memandang wajah Kekasihnya, Allah Rabbul ‘Izzati.
Akhwat, dengan segala idealisme yang dia pancangkan dalam dirinya, dia tetap hanya wanita biasa. Penuh cela dan aib. Dia diciptakan dengan naluri feminine-nya, dengan kelemahan, kekurangan dari sisi dien dan akal, dan tentu saja keinginan untuk menikah.
Di dunia ini, tentu jarang diantara muslimah yang tidak ingin menikah. Bahkan sebuah kehinaan dan keharoman bagi mereka jika mereka menginginkan menjadi rahib, karena itu bukan syariat Islam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Dan aku pun menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 5063 dan Muslim dalam Shahih-nya no. 1401, penggalan dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu)

Mereka membutuhkan pasangan hidup dari jenisnya sendiri, sebagaimana apa yang Allah firmankan dalam QS. Ar Ruum:21 yang artinya,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. 30:21)
Di sini, saya tidak akan mengemukakan dalil-dalil tentang nikah. Dari sudut pandang seorang akhwat, saya hanya ingin menyampaikan bahwa Rasulullah senantiasa mengajarkan bagaimana kita memilih pasangan. Bagi seorang wanita muslimah, hanya ada dua syarat bagi seorang lelaki yang layak untuk dijadikan suami. Yakni yang baik agama dan akhlaknya. 
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ

“Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al- Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)

Tentu saja, itu tidak kita harapkan dari pemuda-pemuda yang senang berkeliaran di jalan-jalan, mengumbar pandangan, pecandu khamr, dan lain sebagainya. Ingatlah bahwa keinginan menikah bukan sekedar naluri manusiawi, melainkan sebuah mata rantai perjuangan. Karenanya, seorang akhwat bahkan wanita awwam pasti menginginkan lelaki yang bisa menjadi imam dalam rumahtangganya, yang mampu mentarbiyah keluarganya menjadi orang-orang yang bertaqwa. Tapi bagaimana dan dimanakah akhwat bisa mendapatkan lelaki berlabel “ikhwan”? Dia sudah barang tentu bisa mendapatkannya lewat ikhtiyar dan tawakkal kepada Rabbnya. Senantiasa memperbaiki diri, mengirim do’a-do’anya di keheningan malam, dan menyerahkan segala urusannya kepada Allah. 
Tapi dimana??? Maka kita tunggu saja jawaban Allah atas do’a-do’a tersebut. Yang pasti, bukan di jalanan, pasar-pasar, dsb. Melainkan (mudah-mudahan saja) di masjid-masjid yang di dalamnya mereka sibuk berinteraksi dengan Allah. Saya jadi ingat, ketika teman se-kost saya waktu kuliah sering melantunkan nasyid, “Dimana dicari pemuda kahfi?” Kemudian dia jawab sendiri, “Di Ulil Albab.” Hehe, geli juga kalau dengar potongan nasyid yang dia lantunkan, tapi itu mungkin lahir karena keinginannya mendapat seorang pendamping yang hatinya terpaut di masjid. Dulu nama masjid di kampus kami itu “Ulil Albab”, yang memang kalo berada di sana, kita akan banyak mendengarkan lantunan Al Qur’an dari “makhluk asing” di balik hijab apalagi di waktu-waktu istirahat kuliah, dan sorenya, masjid akan terisi oleh orang-orang yang duduk bermajelis ilmu.
Jadi, bukan sebuah kelegalan bagi seorang akhwat untuk mencari pendamping hidup lewat dunia lain (baca:dunia maya) dengan cara yang bathil. Sebagaimana yang santer saat ini. Menilai kualitas ikhwan dari postingan-postingan di FB yang sejatinya hanya hasil copas punya orang, kemudian add jadi teman, ngajak kenalan, berinteraksi intens tanpa udzur syar’i, dan akhirnya menyampaikan niat –semoga Allah mengampuni kita dan menjauhkan kita dari hal semacam ini-. Jika memang niatnya shahih, tempuhlah cara yang shahih. Karena tidak cukup dengan niat saja. Carilah perantara yang bisa membantu dan ditsiqohi. Walaupun saya berbicara dari sudut pandang akhwat, tapi yang saya maksud di atas adalah bagi akhwat maupun ikhwan. Mencari jodoh lewat dunia maya lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Khawatirlah dengan keshalihan yang maya. Keshalihan yang anda ukur hanya dari tulisan-tulisannya, status-status, komen-komen, dan sebagainya. 
Wahai akhwat, carilah ikhwan, ikhwan sejati. Bukan ikhwan jadi-jadian. Di FB lagak ikhwan, di dunia nyata ternyata preman. Begitupula ikhwan, carilah seorang akhwat, akhwat sejati. Jangan tertipu dengan foto profil bercadar, atau paras yang jelita. Karena itu bukan kesejatian. Yang sejati itu hanyalah ketaqwaan, yang tak akan mampu anda ukur dari dzhahir semata.
Karena aku akhwat, maka kudamba ikhwan
Walau ku bukan akhwat sejati, namun siapa yang tak damba ikhwan sejati?
Karena anda ikhwan, maka dambalah akhwat
Walau ku tak tahu andakah ikhwan sejati itu, namun kuharap dekatkanlah
Karena aku bukanlah bidadari, dan anda bukanlah malaikat
Jadi bantulah aku dekati sempurna, walau kesempurnaan bukanlah milik kita
Bantulah aku meraih derajat taqwa
Bantulah aku menjadi wanita yang dicemburui bidadari
Aku akan merasa cukup, dengan kehadiran seorang ikhwan, bukan hartawan
Karena kutahu, kekayaan bukanlah pada harta, melainkan pada jiwa
Kudamba dia yang diamnya dzikir, ucapannya menenangkan, dan marahnya tak kan menyakiti
Aku hanya membutuhkan seseorang yang ketika aku jatuh, tangannya terulur
Aku hanya ingin, dia yang menerima apa adanya
Sehingga aku pun bisa setia mendampinginya
Qona’ah dengan pemberiannya
Menjadi makmumnya dalam sujud-sujud panjang di hening malam
Dan meraih surga bersamanya di setiap jengkal perjuangan
Allah, DIA lah saksi atas ingin ini, bahkan apa yang tak cukup kutuliskan di sini
Semoga DIA berkenan, dan menyucikan niat kita
Sehingga, segala yang kita hadapi akan terasa ringan tanpa beban
Aamiin
                               
                   Akhirnya,
                   Ketika kehendakmu tak sejalan dengan kehendakNya
                   Biarkan kehendakNya yang berjalan atas hidupmu
                   Karena kehendakNya adalah kebaikan untukmu
                   Ketika inginmu tak sesuai dengan inginNya
                   Biarkan inginNya menjadi scenario terbaik bagi hidupmu
                   Karena Dia Maha Tahu segala hal tentang dirimu
                   Biarkan tangisan obati kekecewaanmu
                   Bukan kecewa pada Rabb-mu
                   Tapi kecewa pada dirimu sendiri
                   Karena tak mampu berdiri di atas inginNya
                   Hidup harus dijalani secara shalih
                   Sesakit apapun, siap ataupun tidak
                   Karena Rabb-mu tak pernah butuh persetujuanmu atas kehendakNya
Sahhalallahu lanaa...
Wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shahbihi wasallam

Al Faaqirah Ilallah
@Bilik Kecilku
Rabu, 28 Sya'ban 1433H/18 Juli 2012