Saya tiba-tiba ingat saja pesan Syaikh
Dr. Isa Al Masylami hafidzhahullah di penghujung ta’lim beberapa pekan lalu. Beliau
mengatakan, “Hendaknya ikhwan tidak menikah kecuali dengan akhwat, dan
hendaknya akhwat tidak menikah kecuali dengan ikhwan”.
Jika dilihat dari realita di lapangan,
memang ini sudah menjadi sesuatu yang dicitakan setiap akhwat dan ikhwan. Sebenarnya,
setiap muslimah adalah akhwat, dan setiap muslim adalah ikhwan (mengalami
penyempitan makna dalam bahasa Indonesia).
Akan tetapi, maksud saya “akhwat” di
sini adalah muslimah yang agak beda dari biasanya. Lebih eksklusif (positif),
langka, mahal, dan tidak sembarangan. Sifat itu hadir karena dari suluknya yang
senantiasa tertutup rapat hijab, dan di jiwanya ada kerinduan yang besar
terhadap akhirat. Kesenangannya bukan berada di keramaian, melainkan di
taman-taman surga. Malamnya bukan untuk menongkrongi kotak ajaib bernama TV,
melainkan dihiasi sujud dan istighfar kepada Rabbnya. Bacaan kesukaannya bukan buku
Teori Relativitas Einstein, Giancoli, Tipler, atau semacamnya, melainkan Kitabullah.
Tapi anda jangan membayangkan akhwat itu seorang bidadari yang luput dari cela
dan hina. Dengan mata laksana yaqut, kulit bening, dan segala kelebihan yang
Allah dan rasuNya sifatkan dalam Kitabullah dan Sunnah. Mereka hanya wanita
akhir zaman yang senantiasa berusaha menambatkan hati pada sebuah buhul yang
dengannya ia akan selamat dan berbahagia hingga menemui Sang Terkasih, Allah
Azza wa Jalla.
Adapun “ikhwan” yang saya maksud adalah,
lelaki muslim yang dunia hanya dia letakkan di tangan sedang akhirat memenuhi
hatinya. Lelaki yang suluknya senantiasa bertasyabbuh terhadap Rasulullah yang
mulia, populernya, celana cingkrang dan janggut yang bertengger di dagu.
Jiwanya selalu merindu Jannah, sehingga anggota tubuhnya pun tidak pernah dia relakan
untuk bermaksiat. Idolanya bukan Christian Ronaldo, Messi, atau Mesut Ozil, melainkan
Rasul terakhir penyempurna risalah. Hatinya tepaut di masjid dan wajahnya
bercahaya karena air wudhu. Tapi, anda jangan membayangkan ikhwan adalah seorang
malaikat, yang tak pernah jatuh pada kesalahan. Mereka hanyalah lelaki akhir
zaman yang berusaha meniti jalan berduri dengan segenap kehati-hatian demi
mengobat kerinduannya tuk memandang wajah Kekasihnya, Allah Rabbul ‘Izzati.
Akhwat, dengan segala idealisme yang
dia pancangkan dalam dirinya, dia tetap hanya wanita biasa. Penuh cela dan aib.
Dia diciptakan dengan naluri feminine-nya, dengan kelemahan, kekurangan dari
sisi dien dan akal, dan tentu saja keinginan untuk menikah.
Di dunia ini, tentu jarang diantara
muslimah yang tidak ingin menikah. Bahkan sebuah kehinaan dan keharoman bagi
mereka jika mereka menginginkan menjadi rahib, karena itu bukan syariat Islam.
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Dan aku pun menikahi
wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka dia bukan termasuk
golonganku.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 5063 dan Muslim dalam
Shahih-nya no. 1401, penggalan dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu)
Mereka membutuhkan pasangan hidup dari
jenisnya sendiri, sebagaimana apa yang Allah firmankan dalam QS. Ar Ruum:21
yang artinya,
“Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS.
30:21)
Di sini,
saya tidak akan mengemukakan dalil-dalil tentang nikah. Dari sudut pandang
seorang akhwat, saya hanya ingin menyampaikan bahwa Rasulullah senantiasa
mengajarkan bagaimana kita memilih pasangan. Bagi seorang wanita muslimah,
hanya ada dua syarat bagi seorang lelaki yang layak untuk dijadikan suami.
Yakni yang baik agama dan akhlaknya.
Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah bersabda:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila
seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk
meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan
wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di
bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam
Al- Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
Tentu
saja, itu tidak kita harapkan dari pemuda-pemuda yang senang berkeliaran di
jalan-jalan, mengumbar pandangan, pecandu khamr, dan lain sebagainya. Ingatlah
bahwa keinginan menikah bukan sekedar naluri manusiawi, melainkan sebuah mata
rantai perjuangan. Karenanya, seorang akhwat bahkan wanita awwam pasti
menginginkan lelaki yang bisa menjadi imam dalam rumahtangganya, yang mampu
mentarbiyah keluarganya menjadi orang-orang yang bertaqwa. Tapi bagaimana dan dimanakah
akhwat bisa mendapatkan lelaki berlabel “ikhwan”? Dia sudah barang tentu bisa
mendapatkannya lewat ikhtiyar dan tawakkal kepada Rabbnya. Senantiasa
memperbaiki diri, mengirim do’a-do’anya di keheningan malam, dan menyerahkan
segala urusannya kepada Allah.
Tapi dimana???
Maka kita tunggu saja jawaban Allah atas do’a-do’a tersebut. Yang pasti, bukan
di jalanan, pasar-pasar, dsb. Melainkan (mudah-mudahan saja) di masjid-masjid
yang di dalamnya mereka sibuk berinteraksi dengan Allah. Saya jadi ingat,
ketika teman se-kost saya waktu kuliah sering melantunkan nasyid, “Dimana
dicari pemuda kahfi?” Kemudian dia jawab sendiri, “Di Ulil Albab.” Hehe, geli
juga kalau dengar potongan nasyid yang dia lantunkan, tapi itu mungkin lahir
karena keinginannya mendapat seorang pendamping yang hatinya terpaut di masjid.
Dulu nama masjid di kampus kami itu “Ulil Albab”, yang memang kalo berada di
sana, kita akan banyak mendengarkan lantunan Al Qur’an dari “makhluk asing” di
balik hijab apalagi di waktu-waktu istirahat kuliah, dan sorenya, masjid akan
terisi oleh orang-orang yang duduk bermajelis ilmu.
Jadi,
bukan sebuah kelegalan bagi seorang akhwat untuk mencari pendamping hidup lewat
dunia lain (baca:dunia maya) dengan cara yang bathil. Sebagaimana yang santer
saat ini. Menilai kualitas ikhwan dari postingan-postingan di FB yang sejatinya
hanya hasil copas punya orang, kemudian add jadi teman, ngajak kenalan,
berinteraksi intens tanpa udzur syar’i, dan akhirnya menyampaikan niat –semoga Allah
mengampuni kita dan menjauhkan kita dari hal semacam ini-. Jika memang niatnya
shahih, tempuhlah cara yang shahih. Karena tidak cukup dengan niat saja.
Carilah perantara yang bisa membantu dan ditsiqohi. Walaupun saya berbicara
dari sudut pandang akhwat, tapi yang saya maksud di atas adalah bagi akhwat
maupun ikhwan. Mencari jodoh lewat dunia maya lebih banyak mudharat daripada
manfaatnya. Khawatirlah dengan keshalihan yang maya. Keshalihan yang anda ukur
hanya dari tulisan-tulisannya, status-status, komen-komen, dan sebagainya.
Wahai
akhwat, carilah ikhwan, ikhwan sejati. Bukan ikhwan jadi-jadian. Di FB lagak
ikhwan, di dunia nyata ternyata preman. Begitupula ikhwan, carilah seorang
akhwat, akhwat sejati. Jangan tertipu dengan foto profil bercadar, atau paras yang
jelita. Karena itu bukan kesejatian. Yang sejati itu hanyalah ketaqwaan, yang
tak akan mampu anda ukur dari dzhahir semata.
Karena aku akhwat, maka kudamba ikhwan
Walau ku bukan akhwat sejati, namun siapa yang
tak damba ikhwan sejati?
Karena anda ikhwan, maka dambalah akhwat
Walau ku tak tahu andakah ikhwan sejati itu,
namun kuharap dekatkanlah
Karena aku bukanlah bidadari, dan anda bukanlah
malaikat
Jadi bantulah aku dekati sempurna, walau
kesempurnaan bukanlah milik kita
Bantulah aku meraih derajat taqwa
Bantulah aku menjadi wanita yang dicemburui
bidadari
Aku akan merasa cukup, dengan kehadiran
seorang ikhwan, bukan hartawan
Karena kutahu, kekayaan bukanlah pada harta,
melainkan pada jiwa
Kudamba dia yang diamnya dzikir, ucapannya
menenangkan, dan marahnya tak kan menyakiti
Aku hanya membutuhkan seseorang yang ketika
aku jatuh, tangannya terulur
Aku hanya ingin, dia yang menerima apa adanya
Sehingga aku pun bisa setia mendampinginya
Qona’ah dengan pemberiannya
Menjadi makmumnya dalam sujud-sujud panjang di
hening malam
Dan meraih surga bersamanya di setiap jengkal
perjuangan
Allah, DIA lah saksi atas ingin ini, bahkan
apa yang tak cukup kutuliskan di sini
Semoga DIA berkenan, dan menyucikan niat kita
Sehingga, segala yang kita hadapi akan terasa
ringan tanpa beban
Aamiin
Akhirnya,
Ketika
kehendakmu tak sejalan dengan kehendakNya
Biarkan
kehendakNya yang berjalan atas hidupmu
Karena
kehendakNya adalah kebaikan untukmu
Ketika
inginmu tak sesuai dengan inginNya
Biarkan
inginNya menjadi scenario terbaik bagi hidupmu
Karena
Dia Maha Tahu segala hal tentang dirimu
Biarkan
tangisan obati kekecewaanmu
Bukan
kecewa pada Rabb-mu
Tapi
kecewa pada dirimu sendiri
Karena
tak mampu berdiri di atas inginNya
Hidup
harus dijalani secara shalih
Sesakit
apapun, siap ataupun tidak
Karena
Rabb-mu tak pernah butuh persetujuanmu atas kehendakNya
Sahhalallahu lanaa...
Wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shahbihi wasallam
Wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shahbihi wasallam
Al Faaqirah Ilallah
@Bilik Kecilku
Rabu, 28 Sya'ban 1433H/18 Juli 2012