Setelah ini akan datang do’a al-karbu ‘sedih’. Perbedaan antara al-karbu dan al-huznu adalah bahwa al-karbu kesedihan yang sangat mendalam. Sedangkan perbedaan antara al-hamm dan al-huznu dikatakan. “Keduanya adalah sama.” Padahal tidaklah demikian. Karena al-hamm terjadi pada perkara yang nyata dan masih ditunggu. Sedangkan al-huznu terjadi pada apa-apa yang teiah terjadi, dan al-hamm adalah kesedihan yang meleburkan manusia. Dia berkata, هَمَّنِي الشَّيْءٌ artinya sesuatu itu meleburkanku.”
اَللَّهُمَّ
إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ،
مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ
هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ،
أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ
عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ،
وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ
” Ya Allah,
sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu, ubun-ubunku
(nasibku) ada di tangan-Mu. Telah lalu hukum-Mu atasku, adil
ketetapan-Mu atasku, aku mohon kepada-Mu dengan perantara semua nama
milik-Mu yang Engkau namakan sendiri, atau Engkau turunkan dalam
kitab-Mu, atau Engkau ajarkan seseorang dari hamba-Mu, atau Engkau
rahasiakan dalam ilmu gaib di sisi-Mu. Jadikanlah Al-Qur’an sebagai
penawar hatiku, cahaya dalam dadaku, penghapus dukaku, dan pengusir
keluh-kesahku.”[1]
Shahabat yang meriwayatkan hadits ini adalah Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu.
Ungkapan اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، اِبْنُ أَمَتِكَ ‘sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu’ adalah untuk menunjukkan kerendahan dan ketundukan serta pengakuan ubudiyah-Nya. Bahwa tidak cukup hanya dengan ucapan إِنِّيْ عَبْدُكَ ‘sesungguhnya aku adalah hamba-Mu’, tetapi dengan memberikan tambahan di dalamnya: اِبْنُ أَمَتِكَ ‘anak hamba-Mu‘,
karena yang demikian lebih dalam dan lebih kuat menunjukkan kerendahan
dan ubudiyah, karena siapa saja yang menguasai satu orang pria tiada
sama dengan orang yang memilikinya sekaligus ibu dan bapaknya.
Ungkapan نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ ‘ubun-ubunku (nasibku) ada di tangan-Mu‘
ini adalah kinayah tentang terlaksana hukum-Nya terhadap dirinya. Dan
bahwa dirinya berada di bawah kekuasaan dan kekuatan-Nya.
Ungkapan مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ ‘telah lalu hukum-Mu atasku’, dengan kata lain, berlalu atas diriku semua hukum-Mu.
Ungkapan عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ ‘adil ketetapan-Mu atasku‘,
dengan kata lain, setiap Engkau menetapkan hukum atas diriku semuanya
adil, karena adil adalah sifat-Mu dan kezaliman adalah mustahil bagi-Mu.
Adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, sedangkan kezaliman
adalah sebaliknya.
Ungkapan أَسْأَلُكَ ‘aku mohon kepada-Mu‘
dan seterusnya adalah mulai do’a setelah menunjukkan kerendahan dan
ketundukan. Demikianlah sebagian dari adab-adab orang yang memohon.
Kondisi demikian lebih dekat kepada ijabah atas suatu
permohonan. Apalagi Dzat yang diajukan permohonan kepada-Nya adalah Dzat
Yang Mahamulia. Allah Taala adalah Dzat Yang Mahamulia di antara semua
orang yang mulia. Jika hamba-Nya merengek dan merendahkan diri serta
menunjukkan kerendahan dan ketundukan kepada-Nya, lalu memohon
dipenuhinya suatu hajat, maka Dia akan memenuhinya pada saatnya dengan
apa-apa yang layak bagi kedermawanan-Nya.
Ungkapan بِكُلِّ اسْمٍ ‘dengan perantara semua nama‘, dengan kata lain, dengan haq setiap nama.
Ungkapan هُوَ لَكَ ‘milik-Mu yang Engkau namakan sendiri’,
ini adalah sikap hati-hati dari nama selain nama Allah, karena ketika
dia bersumpah dengan semua nama, dan yang demikian bersifat umum yang
mencakup semua nama, maka dikeluarkan darinya nama selain nama Allah
dengan ucapan هُوَ لَكَ ‘yang menjadi milik-Mu‘, karena sumpah dengan selain nama Allah Ta’ala tidak boleh.
Ungkapan سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ ‘Engkau menamakan Dzat-Mu sendiri dengannya‘, seakan-akan ungkapan ini adalah tafsir bagi sebelumnya, karena semua nama milik-Nya adalah nama bagi Dzat-Nya.
Ungkapan أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ ‘atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu’, dengan kata lain, Engkau turunkan kepada salah seorang di antara para nabi-Mu dalam Kitab-Mu yang mulia.
Ungkapan أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ ‘atau Engkau ajarkan seseorang dari hamba-Mu’, dengan kata lain, dari para nabi dan para malaikat.
Ungkapan أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ ‘atau Engkau rahasiakan dalam ilmu gaib di sisi-Mu‘,
dengan kata lain, atau Engkau khususkan bagi Dzat-Mu sendiri dalam
pengetahuan akan segala yang gaib, sehingga tiada yang mengetahuinya
melainkan Engkau dan tiada yang bisa melihatnya selain Engkau. Semua ini
adalah bagian dari ungkapan بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ, ‘dengan segala nama yang menjadi milik-Mu.‘
Dari semua ini telah
diambil kesimpulan bahwa Allah memiliki sejumlah nama selain yang telah
disebutkan dalam Al-Qur’an dan dengan lisan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan bukan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا، مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا
“Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu” (Muttafaq alaih) [2]
Ini untuk menunjukkan luasnya cakupan.
Ungkapan أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ ‘jadikanlah Al-Qur’an sebagai penawar hatiku’,
dengan kata lain, kesukariaan dalam hati dan kesenangannya. Dijadikan
musim semi bagi-nya, karena manusia akan merasa senang hatinya di
masa-masa musim semi dan hati akan selalu cenderung kepadanya. Keluar
dari berbagai macam duka dan nestapa, sehingga menemukan semangat,
kebahagiaan, dan kesukariaan.
Ungkapan وَنُوْرَ صَدْرِيْ ‘cahaya dalam dadaku’, dengan kata lain, lapang dadaku, karena jika dada terasa lapang, maka ia akan menjadi bercahaya.
Ungkapan وَجَلاَءَ حُزْنِيْ ‘penghapus dukaku‘, dengan kata lain, terbukanya kesedihan hati.
Ungkapan وَذَهَابَ هَمِّيْ ‘dan pengusir keluh-kesahku‘, dengan kata lain, enyah dariku.
Disebutkan di bagian akhir hadits sabda beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam,
إِلاَّ أَذْهَبَ اللهُ هَمَّهُ وَحُزْنَهُ، وَأَبْدَلَهُ مَكَانَهُ فَرَجًا
“Melainkan Allah menghilangkan duka dan kesedihannya, dan menggantikannya dengan kelapangan.”
Disalin dari Syarh Do’a dan Dzikir
Hishnul Muslim oleh Madji bin Abdul Wahhab Ahmad dengan Korektor Syaikh
Dr. Sa’id bin Ali Wahf Al-Qahthani, terbitan Darul Falah Jakarta, Hal.
330-334
[1] Ahmad, (1/391) dan dishahihkan Al-Albani. dalam Al-Kalim Ath-Thayyib. no. 124.
[2] Al-Bukhari. no. 2736: dan Muslim, no. 2677.
Sumber => http://doandzikir.wordpress.com