Minggu, 15 Juli 2012

"DIA" di Mata Manusia

Bismillah.
Innaa lillaahi wa innaa ilayhi rooji'uun. Hari ini ada duka di dalam hati dengan kepergian salah seorang kakek kami. Beliau ditemukan meninggal di dekat jembatan dan diduga telah menjadi mayat sejak semalam. Semoga Allah merahmatinya dan mengampuni dosa-dosanya. Aamiin.
Sekilas tentang beliau. Beliau adalah seorang kakek kami dari pihak bapak. Beliau memiliki kekurangan fisik dan mental, sehingga kemana-mana beliau berjalan tanpa arah dan tujuan.
Walaupun sanak keluarganya banyak, akan tetapi beliau tidak menetap di satu tempat. Di banyak tempat pun, beliau sering mendapat ejekan dari orang-orang. Tak ayal, ejekan itu datang dari keluarganya sendiri. Tapi, itu tak pernah membuatku sungkan mengakuinya sebagai kakekku. 
Saya kadang merenungi, orang seperti beliau, yang memiliki keterbatasan dalam fisik dan mental, mungkin lebih beruntung dibandingkan kita-kita yang terlahir dan bisa hidup normal. Kenapa? Kekurangan tersebut membatasi mereka untuk banyak berbuat maksiat. Gangguan mental pun menjadikan dia bisa berlepas diri di yaumul hisab. Karena Allah hanya membebankan syariat ini pada orang-orang yang aqil (berakal). Sedangkan kita, mata yang normal sering kita gunakan mengumbar pandangan, telinga dengan pendengaran yang jernih sering kita gunakan untuk mendengarkan hal-hal yang harom, lisan yang sering meluncurkan kata-kata yang kasar, keji, dan tidak bermanfaat, kaki yang kita langkahkan ke tempat-tempat yang tidak semestinya, dua tangan yang kita gunakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang nista. Belum lagi anggota tubuh kita yang lain, bahkan hati dan akal kita pun seringkali memikirkan sesuatu yang tidak Allah sukai. 
Begitu banyak nikmat yang luput untuk kita syukuri, begitu banyak dosa yang lalai untuk kita mohonkan ampunan, dan begitu banyak hak serta amanah yang belum kita tunaikan. 
Syukur, tidak hanya sebatas ucapan hamdalah...
Taubat, tidak hanya sekedar ucapan istighfar...
Lebih dari itu semua, anggota tubuh kita dituntut untuk merealisasikannya dalam bentuk amalan. Mata, telinga, lisan, kaki, tangan, hati, dan jiwa dituntut untuk TAQWA. Itulah sebenar-benar syukur, itulah realisasi dari taubat.
Saudaraku...
Sebelum senja Ramadhan hadir, mari kita luruskan niat, kuatkan azam, perbaharui taubat, dan persiapkan diri kita untuk berjuang meraih gelar TAQWA. Gelar yang tidak membutuhkan pengakuan manusia, predikat yang cukup Allah yang menilainya.
Semoga Allah mengampuni kedzhaliman kita, terutama kedzhaliman yang kita lakukan kepada diri kita sendiri.
Rabbanaa dzhalamnaa anfusanaa wa in lam taghfirlanaa wa tarhamnaa lanakuunannaa minal khosiriin...

Wallahu a'lam wal musta'an.