Kemajuan teknologi di zaman ini membuat orang mudah mendapatkan
berita dan mengakses ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan fasilitas di
dunia maya melalui berbagai situs dan blog
dan ditunjang dengan jejaring sosial di dunia maya seperti fecebook,
twitter, google. Kita patut mensyukuri hal ini, sehingga mereka yang
agak susah mengakses ilmu dan menghadiri majelis ilmu bisa memperoleh
ilmu agama terutama yang wajib dipelajari. Seperti tempat yang jarang
ada majelis ilmu dan bagi wanita yang memang dianjurkan lebih banyak
berdiam diri di rumah sesuai kodratnya.
Namun fenomena ini bisa menjadi kurang baik bagi mereka yang berlebihan dalam menuntut ilmu agama di dunia maya, walaupun ada juga yang beralasan menuntut ilmu agama padahal hanya ingin berlama-lama keasyikan atau kecanduan internet dan dunia maya.
Dampak sikap berlebihan ini yang kurang baik adalah ditinggalkannya
majelis ilmu di dunia nyata atau porsinya sangat sedikit. Padahal
menuntut ilmu agama di dunia nyata dengan menghadiri majelis-majelis
ilmu sangat banyak faidah dan manfaatnya dan tidak bisa dicapai melalui
dunia maya. Dan hasilnya tentu jauh berbeda.
Berikut beberapa keutamaan yang tidak didapatkan jika lebih banyak
menuntut ilmu di dunia maya dan lebihsedikit porsi menuntutnya imu di
dunia nyata:
Tidak mendapatkan ketenangan jiwa dan kebahagiaan hati
Duduk didepan komputer atau berinternet dengan HP tentu berbeda
dengan menghadiri mejelis ilmu. Memang ia mendapatkan ilmu dengan
membaca sendiri atau mendengarkan rekaman kajian, akan tetapi ketahuilah
bahwa majelis ilmu di dunia nyata mempunyai banyak sekali keutamaan
yang tidak bisa didapatkan melalui dunia maya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ
وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ
وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Dan tidaklah sekelompok orang berkumpul di dalam satu rumah di antara rumah-rumah Allah; mereka membaca Kitab Allah dan saling belajar diantara mereka,
kecuali ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka,
malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di
kalangan (para malaikat) di hadapanNya.” [HR Muslim, no. 2699; Abu Dawud, no. 3643; Tirmidzi, no. 2646; Ibnu Majah, no. 225; dan lainnya].
لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ
وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah sekelompok orang duduk berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali
para malaikat mengelilingi mereka, rahmat (Allah) meliputi mereka,
ketentraman turun kepada mereka, dan Allah menyebut-menyebut mereka di
hadapan (para malaikat) yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim, no. 2700).
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah berkata,
المراد بمجالس الذكر وأنها التي تشتمل على ذكر الله
بأنواع الذكر الواردة من تسبيح وتكبير وغيرهما وعلى تلاوة
كتاب الله سبحانه وتعالى وعلى الدعاء بخيري الدنيا والآخرة
وفي دخول قراءة الحديث النبوي ومدارسة العلم الشرعي
ومذاكرته والاجتماع على صلاة النافلة في هذه المجالس نظر
والأشبه اختصاص ذلك بمجالس التسبيح والتكبير
ونحوهما والتلاوة حسب وإن كانت قراءة الحديث ومدارسة العلم
والمناظرة فيه من جملة ما يدخل تحت مسمى ذكر الله تعالى
“Yang dimaksud dengan majelis-majelis dzikir adalah mencakup
majlis-majlis yang berisi dzikrullah, dengan macam-macam dzikir yang ada
(tuntunannya, Pent) berupa tasbih, takbir, dan lainnya. Juga yang
berisi bacaan Kitab Allah Azza wa Jalla dan berisi doa kebaikan dunia
dan akhirat. Dan menghadiri majelis pembacaan hadits Nabi, mempelajari
ilmu agama, mengulang-ulanginya, berkumpul melakukan shalat nafilah
(sunah) ke dalam majlis-majlis dzikir adalah suatu visi. Yang lebih nyata, majlis-majlis dzikir adalah lebih khusus pada majlis-majlis tasbih, takbir dan lainnya, juga qiraatul Qur’an saja. Walaupun
pembacaan hadits, mempelajari dan berdiskusi ilmu (agama) termasuk
jumlah yang masuk di bawah istilah dzikrullah Ta’ala”. [Fathul Bari, 11/212, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H, Asy-Syamilah.
Jika pada diri manusia masih bersisa sebagian jiwa hanifnya
dan hatinya tidak tertutup total maka ketika ia menghadiri majelis ilmu,
maka hilanglah stres, lelah dan kepenatan kehidupan dunia yang semu. Maka
istirahatlah jiwa kita dari kepenatan dunia yang hanya sangat sementara
ini di taman surga. Majelis dzikir adalah taman surga di dunia ini.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا
قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jika kamu melewati taman-taman
surga, maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat bertanya,”Apakah
taman-taman surga itu?” Beliau menjawab,”Halaqah-halaqah
(kelompok-kelompok) dzikir.” [HR Tirmidzi, no. 3510 dan lainnya. Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, no. 2562.]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
إن للذكر من بين الأعمال لذة لا يشبهها شيء،
فلو لم يكن للعبد من ثوابه إلا اللذة الحاصلة للذاكر والنعيم
الذي يحصل لقلبه لكفى به، ولهذا سميت مجالس الذكر رياض الجنة
“Sesungguhnya dzikir di antara amal memiliki kelezatan yang tidak bisa diserupai oleh sesuatupun, seandaikan
tidak ada balasan pahala bagi hamba kecuali kelezatan dan kenikmatan
hati yang dirasakan oleh orang yang berdziki, maka hal itu [kenikmatan
berdzikit saja, pent] sudah mencukupi, oleh karena itu majelis-majelis dzikir dinamakan taman-taman surga.” [Al-Wabilush Shayyib hal. 81, Darul Hadist, Koiro, cet. Ke-3, Asy-Syamilah]
Tidak mendapat contoh langsung akhlak dan takwa dari ustadz/syaikh
Inilah salah satu yang terpenting dan tidak kita dapatkan di dunia maya. Bahkan ini juga yang terkadang dilalaikan oleh mereka yang menghadiri majelis ilmu di dunia nyata.
Sebagian dari kita hanya berharap ilmu saja ketika menghadiri majelis
ilmu, padahal yang terpenting adalah contoh langsung akhlak, takwa,
kesabaran, tawaddu’ dan wara’ dari para ustadz/syaikh.
Karena jika sekedar ilmu maka semua orang bisa berbicara akan tetapi
untuk menerapkannya dan mencontohkannya maka hanya beberapa orang yang
Allah beri taufik yang bisa melakukannya.
sehingga perlu kita camkan juga, jika menuntut ilmu dari seseorang yang pertama kali kita ambil adalah akhlak dan adab orang tersebut baru kita mengambil ilmunya. Ibu Imam Malik rahimahullahu, sangat paham hal ini dalam mendidik anaknya, beliau memerhatikan keadaan putranya saat hendak pergi belajar. Imam Malik rahimahullahu mengisahkan,
قال مالك: قلت لأمي: ” أذهب، فأكتب العلم؟ “،
فقالت: ” تعال، فالبس ثياب العلم “، فألبستني مسمرة،
ووضعت الطويلة على رأسي، وعممتني فوقها،
ثم قالت: ” اذهب، فاكتب الآن “، وكانت تقول:
” اذهب إلى ربيعة، فتعلًّمْ من أدبه قبل علمه“
“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ Ibuku
berkata,‘Kemarilah!, Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku
mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku,
kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan,
‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah (guru Imam Malik, pen)! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’.” (‘Audatul Hijaab 2/207, Muhammad Ahmad Al-Muqaddam, Dar Inbul Jauzi, Koiro, cet. Ke-1, 1426 H, Asy-Syamilah)
Tidak dapat bertemu dengan orang-orang shalih dan berorientasi akhirat
Di majelis ilmu maka kita akan bertemu dengan beberapa orang yang
shalih yang tidak kita dapati di depan komputer dunia maya. Bertemu
dengan orang-orang shalih bisa memperkuat iman kita, bisa memuculkan
persaingan sehat dan berlomba-lomba mengenai akhirat. Salah satu
contohnya sebagimana dikisahkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu, beliau berkata,
وكنا إذا اشتد بنا الخوف وساءت منا الظنون وضاقت بنا الأرض أتيناه،
فما هو إلا أن نراه ونسمع كلامه فيذهب ذلك كله
وينقلب انشراحاً وقوة ويقيناً وطمأنينة
“Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan
takut yang berlebihan, atau timbul dalam diri kami prasangka-prasangka
buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami mendatangi
beliau, maka dengan hanya memandang beliau dan mendengarkan
ucapan beliau, maka hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan
berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.” [Al Waabilush Shayyib hal 48, cetakan ketiga, Darul Hadist, Maktabah Syamilah]
Tidak punya guru kemungkinan salah pahamnya lebih banyak
Salah satu kekurangan menuntut ilmu agama dengan hanya membaca di
dunia maya adalah tidak ada bimbingan guru. Sehingga dengan hanya
membaca saja maka ada kemungkinan ia bisa salah paham, masih mending
jika salah ilmu dunia, akan tetapi ini salah mengenai ilmu akhirat yang
bisa jadi ujung-ujungnya adalah neraka, wa’liyadzu billah.
Oleh karena itu diperlukan seorang guru yang membimbing dalam menutut
ilmu, membimbing materi apa yang harus dipelajari, kemudian membimbing
kitan apa yang selamat akidahnya dan membimbing metode belajar disetiap
materi ilmu. Walaupun bisa belajar dengan hanya membaca-baca
saja akan tetapi ada kemungkinan salah paham dan memerlukan waktu yang
lama dan memerlukan keseriusan yang lebih. Lebih-lebih ia masih penuntut
ilmu pemula dan belum memiliki berbagai dasar ilmu.
Syaikh Muhammad Shalih bin Al-‘Utsaimin rahimahullahu ketika ditanya,
هل يجوز تعلم العلم من الكتب فقط دون العلماء وخاصة
إذا كان يصعب تعلم العلم من العلماء لندرتهم؟
وما رأيك في القول القائل:
من كان شيخه الكتاب كان خطؤه أكثر إلى الصواب
“Apakah boleh memperlajari ilmu dari buku-buku saja tanpa
bimbingan ulama/guru, khususnya jika sulit mempelajari ilmu dari ulama
karena sedikitnya jumlah mereka, bagaimana pendapatmu dengan perkataan,
‘barangsiapa yang gurunya adalah buku, maka kesalahannya lebih banyak
dari benarnya?”
Beliau menjawab,
لا شك أن اعلم يحصل بطلبه عند العلماء وبطلبه في الكتب
… ولكن تحصيل العلم عن طريق العلماء أقرب من تحصيله
عن طريق الكتب؛ لأن الذي يحصل عن طريق الكتب يتعب
أكثر ويحتاج إلى جهد كبير جداً… ومع ذلك فإنه قد تخفى
عليه بعض الأمور… وأما قوله: “من كان دليله كتابه فخطؤه
أكثر من صوابه” ، فهذا ليس صحيحاً على إطلاقه ولا فاسداً
على إطلاقه، أما الإنسان الذي يأخذ العلم
من أي كتاب يراه فلا شك أنه يخطئ كثيراً
“Tidak diragukan lagi bahwa ilmu bias diperoleh dengan
melalui ulama/guru dan melalui buku-buku…akan tetapi memperoleh ilmu
melalui ulama/guru lebih bisa mencapai hasil daripada melalui buku-buku. Karena menuntut ilmu melalui buku-buku lebih susah dan membutuhkan kesungguhan yang lebih…dan juga terkadang bisa jadi samar baginya beberapa perkara…adapun
perkataan ‘barangsiapa dalilnya adalah bukunya maka kesalahannya lebih
banyak dari benarnya maka ini tidak mutlak benar dan tidak mutlak juga
salah, adapun yang mengambil ilmu dari buku apa saja yang ia lihat maka tidak diragukan lagi bahwasanya ia banyak kesalahannya” [Kitabul ‘ilmi syaikh ‘Utsaimin hal. 114, Darul Itqaan, Iskandariyah]
Belajar tidak sistematis
Salah satu juga yang kurang baik jika lebih banyak menuntut ilmu di
dunia maya terutama bagi mereka yang pemula dan belum memiliki
dasar-dasar ilmu adalah belajar tidak sistematis. Belajar apa yang ia
temukan berupa link dan situs-situs, ia juga hanya belajar “semau gue”
apa yang ingin dibaca ia baca, jika sedang malas maka tidak dibaca. Maka
cara seperti ini tidak akan menghasilkan ilmu yang kokoh, tidak memulai
dari dasar dan bisa jadi malah kebingungan yang berdampak pada
kebosanan. Seharusnya seseorang belajar secara sistematis, menyelesaikan
satu kitab dasar, kemudian berpindah ke kitab lanjutan dan seterusnya
dengan istiqamah.
Syaikh Muhammad Shalih bin Al-‘Utsaimin rahimahullahu berkata mengenai hal ini,
ألا يأخذ من كل كتاب نتفة، أو من كل فن قطعة ثم يترك؛
لأن هذا الذي يضر الطالب، ويقطع عليه الأيام بلا فائدة،
فمثلاً بعض الطلاب يقرأ في النحو : في الأجرومية ومرة
في متن قطر الندي، ومرة في الألفية. ..وكذلك في الفقه:
مرة في زاد المستقنع، ومرة في عمدة الفقه، ومرة في المغني ،
ومرة في شرح المهذب، وهكذا في كل كتاب، وهلم جرا ،
هذا في الغالب لا يحصلُ علماً، ولو حصل علماً
فإنه يحصل مسائل لا أصولاً
“Janganlah mempelajari buku sedikit-sedikit, atau setiap cabang ilmu sepotong-sepotong kemudian meninggalkannya,
karena ini membahayakan bagi penuntut ilmu dan menghabiskan waktunya
tanpa faidah, misalnya sebagian penuntut ilmu memperlajari ilmu nahwu,
ia belajar kitab Al-Jurumiyah sebentar kemudian berpindah ke Matan
Qathrun nadyi kemudian berpindah ke Matan Al-Alfiyah..demikian juga
ketika mempelajari fikih, belajar Zadul mustaqni sebentar, kemudian
Umdatul fiqh sebentar kemudian Al-Mughni kemudian Syarh Al-Muhazzab, dan
seterusnya. Cara seperti Ini umumnya tidak mendapatkan ilmu,
seandainya ia memperoleh ilmu, maka ia tidak memperoleh kaidah-kaidah
dan dasar-dasar.” [Kitabul ‘ilmi syaikh ‘Utsaimin hal. 39, Darul Itqaan, Iskandariyah]
Berlama-lama di dunia maya bisa terjebak fitnah yang banyak
Ini juga hal yang terpenting, karena berlama-lama di dunia maya
dengan tidak diiringi takwa maka bisa terjerumus dalam banyak fitnah dan
bahaya. Walaupun niat awalnya menuntut ilmu akan tetapi hati manusia
ini lemah. Bahaya tersebut bisa berupa fitnah wanita dan lawan jenis,
membuang-buang waktu, chatting dan mengobrol yang kurang penting dengan
berlebihan, curhat yang tidak penting dan mengadu kepada manusia, dakwah
berlebihan di dunia maya sampai lupa dakwah dengan orang-orang
disekitar kita. Dan masih banyak lagi
Perlu kita sadari bahwa kita hidup di dunia nyata, maka luangkan
waktu lebih banyak di dunia nyata, menuntut ilmu di majelis ilmu,
berdakwah dengan orang-orang disekitar kita dan lebih banyak
berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang-orang di dunia nyata.
Demikianlah yang dapat kami jabarkan, semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walamdulillahi robbil ‘alamin.
Disempurnakan di Lombok, Pulau seribu Masjid
18 Shafar 1433 H bertepatan 12 Januari 2012
Penyusun: Raehanul Bahraen
Semoga Allah meluruskan niat kami dalam menulis
Artikel http//muslimafiyah.com