Bismillah...
Kemarin, 4 Jumadil Akhir 1433H/26 April 2012, seperti biasa, ba'da ashar dilaksanakan ta'lim pembahasan kitab Bulughul Maram karya Imam Abu Fadhl, Ibnu Hajar Al Atsqolani di Masjid Wihdatul Ummah, beberapa meter dari kostku berada. Kira-kira pukul 16.00, saya berangkat dari rumah berbekal buku album khusus ta'lim dan sebuah pulpen. Pembahasan kemarin adalah akhir-akhir dari bab tentang shalat Jum'at. Alhamdulillah ketika tiba di sana, sudah ada beberapa akhawaat yang membuat majelis dan membacakan kitab syarah bulughul maram secara bergantian sembari menanti kedatangan ustadz-hafidzhahullah- yang masih dalam perjalanan pulang dari ujian MEDIU beliau. Karena hari juga sedang hujan, akhirnya ustadz agak terlambat datang. Tapi itu tidak menyurutkan semangat para akhawaat dalam belajar. Di sela-sela pemberian materi, seperti biasa, ustadz selalu memberikan pertanyaan-pertanyaan seputar hal-hal yang berkaitan dengan materi dan mungkin telah diperoleh di majelis ilmu yang lain.
Kebetulan kemarin, karena hadits yang disebutkan adalah hadits dho'if, maka ustadz memberi pertanyaan, "Apa syarat yang harus dipenuhi oleh hadits dho'if sehingga ia bisa disampaikan?". Kami di balik hijab lalu diberi kesempatan menjawab pertanyaan tersebut dalam beberapa detik lewat tulisan di secarik kertas. "Seingatku, saya sudah sering mendapatkan materi tersebut, tapi lupa di halaman mana catatan itu berada. Ah, saya tulis saja, bahwa hadits dho'if itu bisa disampaikan jika didukung oleh hadits2 yang derajatnya bisa diterima." Gumamku dalam hati. Ustadz lantas berkata, syarat tersebut paling tidak ada 3. Tapi jika ada yang sudah menjawab 2 dan benar, maka akan mendapatkan hadiah. Akhirnya di atas kertas, saya menulis 2 poin. Bahwasanya, hadits dho'if bisa disampaikan jika 1). Derajatnya tidak dho'if jiddan, dan 2). Ada hadits2 lain yang derajatnya bisa diterima dan mendukung hadits dho'if tsb. Setelah melihat suasana, ternyata, hanya saya yang mengumpul kertas jawaban. Akhirnya ustadz membenarkan jawaban saya padahal yang tepat hanya poin pertama. Alhamdulillah....
Beberapa saat berselang, ustadz membahas iman dan islam, dan memberikan pertanyaan seputar kaidah penyebutan iman dan islam. Dengan segera, saya menulis di kertas bahwa iman dan islam jika disebutkan bersamaan, maka maknanya berbeda dan ketika disebutkan terpisah, maka maknanya sama.
Lagi-lagi, ternyata saya yang mengumpul jawaban itu duluan. Sedangkan akhawaat di samping saya mengumpul beberapa saat setelah saya. Ustadz lalu membaca tulisan saya yang sudah pernah ditegur karena terlalu kecil (susah dibaca, hehe...). Akhirnya, ustadz menyampaikan bahwa 2 jawaban yang masuk semuanya benar.
Pertanyaan terakhir ustadz sebelum majelis ditutup adalah pengertian hadits, khobar, dan atsar. Dan lagi-lagi, ternyata hanya saya yang mengumpul jawaban. Padahal saya tidak yakin dengan jawaban itu. Saya hanya mengingat-ingat materi yang pernah saya tulis di beberapa kajian. Walaupun yang tepat dan pas hanya poin satu, tapi saya senang karena sudah bisa aktif dalam ta'lim. Ini bukan wujud bangga diri insyaAllah, saya hanya ingin mengatakan, bahwa, kita sebagai tholib/tholibat al 'ilm, mestinya dalam setiap majelis, aktif dan bukannya pasif. Jika dipersilakan bertanya, manfaatkan kesempatan sebaik-baiknya untuk bertanya. Dan jika ditanya dan kita pun tahu jawabannya, maka hendaknya kita memenuhi perintah ustadz/ustadzah untuk menjawab. Mungkin saja di majelis kemarin, banyak akhawaat yang tahu jawaban dari setiap pertanyaan ustadz, walaupun saya tidak tau apa yang menghalangi mereka untuk menjawab.
Faedah lain yang saya ambil adalah bahwasanya, ketika datang ke majelis, jangan terlalu mengandalkan rekaman-rekaman yang kita ambil. Tapi, tulislah ilmu yang kita dapatkan, sehingga itu lebih berbekas insyaAllah. Adapun tasjilat, memang bagus jika kita koleksi, tapi mungkin banyak diantara kita yang ketika pulang ke rumah, file-nya hanya disimpan di dalam folder saja tanpa dimuroja'ah kembali. Sedangkan dengan menulisnya, insyaAllah akan lebih meninggalkan atsar di ingatan kita. Lagipula, Allah senantiasa menghitung kesungguhan kita menulis huruf demi huruf dari ilmu yang kita dapat. Al Ajru 'ala qadri masyakkah. Bahwa balasan/pahala itu sesuai dengan kesulitan yang kita dapatkan.
Ada pelajaran besar yang saya dapatkan dari ta'lim ustadz ini, bahwa penting bagi seorang ustadz/ustadzah atau murobbi/murobbiyah untuk senantiasa mengecek pemahaman murid-muridnya terhadap materi yang pernah diberikan. Misalnya dengan ikhtibar tiap selesai pembahasan 1 bab. Penting juga untuk memotivasi para thullab dengan memberikan hadiah sebagai apresiasi terhadap thullab yang menjawab pertanyaan, lulus ujian, atau yang berprestasi. Sebagaimana ustadz kemarin memberikan hadiah kepada saya berupa majalah "Pengusaha Muslim" dan "Kecap botol" (Ustadz tau saja kebutuhan para wanita di dapur, hehe...). Pekan lalu juga jawaban saya benar tapi keduluan akhawaat lain yang kemudian diberikan hadiah "Cream Madu untuk Wajah" (hag...hag...hag...waktu itu ustadz melarang kami tertawa, tapi tidak ada yang sanggup menahan tawa). Sebelumnya juga saya dapat hadiah pembatas buku, dll. Intinya, harga dari hadiah itu tidak penting, yang penting adalah nilai atau ruh motivasinya.
Saya ingat, tahun 2007 lalu, awal-awal saya diajak ikut ta'lim-ta'lim rutin di masjid kampus kami. Sebelumnya, saya hanya aktif di halaqoh tarbiyah pekanan saja, dan malas ikut ta'lim. Hal itu karena kurangnya motivasi. Tetapi, seorang kakak senior -Semoga Allah menjaga beliau dan keluarganya- yang juga seorang akhawaat, sangat rajin mengajak saya. Bahkan jika saya beralasan hujan, dia pun bersedia datang menjemput saya dan membawakan payung agar kami bisa tetap hadir di majelis para ustadz yang saat itu hampir tiap hari ba'da ashar dilaksanakan di mesjid kampus dengan tema yang berbeda-beda. Pesertanya pun masyaAllah banyak dan berasal dari beberapa kampus. Bukan hanya itu, beliau sangat rajin mengingatkan amalan-amalan sunnah seperti shalat sunnah rawatib, lail, dzikir pagi dan petang, dan amalan-amalan lainnya. MasyaAllah, mungkin itulah bentuk tarbiyah yang diperolehnya dari suaminya yang tengah menuntut ilmu di Madinah kala itu. Setiap kami mabit bersama, saya selalu dapat pelajaran dari adab dan penjelasan-penjelasannya. Sejak saat itu, alhamdulillah, saya mulai mengakrabkan diri dengan majelis-majelis ta'lim dan bahkan merasa sangat sedih jika terlewatkan satu majelis. Waktu itu, ustadz yang mengisi ta'lim sering menegur ikhwa yang datang tanpa ada persiapan seperti buku dan pena untuk menulis. Mereka hanya datang untuk mendengarkan saja. Akhirnya, saya juga berusaha mengaktifkan seluruh indra ketika berada di majelis ilmu. Menyesuaikan fokus pendengaran, penglihatan, dan kecepatan dalam menulis. Wal hasil, karena pertologan dari Allah kemudian berbekal catatan tersebut, saya berhasil mendapat nilai terbaik dalam ikhtibar kajian Hadits pembahasan Kitab Al Jami'. Semua jawaban saya alhamdulillah benar, walaupun hampir di setiap jawaban ketika saya menuliskan hadits, saya selalu tulis di dalam kurung "Afwan ustadz, matanya kurang lengkap", atau "afwan ustadz, sanadnya tidak lengkap". Tetapi suatu kesyukuran yang sangat besar bisa mendapat prestasi demikian. Dan lucunya, yang dapat hadiah adalah juara 1,2,dan 3 yang kesemuanya dari kalangan akhawaat.Adapun ikhwan, yang masuk 10 besar pun tidak ada. Tapi ustadz juga akhirnya memberi apresiasi kepada ikhwan yang nilainya paling tinggi. Alangkah senangnya saya saat pembagian hadiah, karena ternyata saya mendapatkan hadiah (kalo tidak salah ingat) 7 buah buku berisi ilmu aqidah, ulama 4 madzhab, dll ditambah sebuah mushaf Madinah yang saya telah hadiahkan kepada ibu saya. Setelah itu, saya semakin termotivasi belajar dan belajar, walaupun kondisi sekarang sudah agak beda dengan yang dulu. Apalagi nantinya setelah pulang ke daerah. Semoga Allah mengistiqomahkan....Aamiin...
-Al Faaqirah Ilallah-