Selasa, 27 November 2012

Sayyidul Istighfar, Penghulu Segala Istighfar


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan dzikir dari do’a berikut ini sebagai sayyidul istighfar atau penghulunya segala istighfar.

Kenapakah demikian?


:عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: سَيِّدُ الإِسْتِغْفَارِ أَنْ تَقُوْلَ
اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ، وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ .مِنْ شَرِّمَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ لَكَ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أِنْت
قَالَ: وَمَنْ قَالَهَا مِنَ النَّهَارِ مُوْقِنًا بِهَا فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ قَبْلَ أَنْ يُمْسِيَ فَهُوَمِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، وَمَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ وَهُوَ مُوْ قِنٌ بِهَا فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ.

Dari Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Sayyidul istighfar adalah engkau mengucapkan:
اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ، وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّمَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ لَكَ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أِنْتَ.
Allohumma anta robbii laa ilaha illa anta kholaqtanii, wa ana ‘abduka wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu, a’udzubika min syarrimaa shona’tu, abuu ulaka bini’matika ‘alayya wa abuu ulaka bidza(n)bii faghfirlii fainnahu laa yaghfirudz dzunuuba illa anta.
“Yaa Allah...
Engkaulah Rabb-ku...
Tidak ada satupun tuhan yang berhak diibadahi melainkan Engkau...
Engkaulah yang telah menciptakanku...
Dan aku adalah hamba-Mu...
Dan aku di atas perjanjian-Mu dan janji-Mu semampuku...
Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang aku lakukan...
Aku mengakui ni’mat-Mu kepadaku...
Dan mengakui dosaku (kepada-Mu)...
Maka ampunkanlah aku...
Karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa melainkan Engkau.”

Maka barang siapa yang mengucapkannya di waktu pagi dan meyakininya, lalu dia mati pada harinya itu sebelum petang, maka dia termasuk penghuni Surga. Dan barang siapa yang mengucapkannya di waktu petang dengan meyakininya, lalu dia mati pada harinya itu sebelum pagi, maka dia termasuk penghuni Surga.”
Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6306 dan 6323), at-Tirmidzi (no. 3393), an-Nasa’i (no. 5522) dan lain-lain.

Dalam mensyarah hadits ini al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy rahimahullah dalam Syarah Shahih al-Bukhari berkata: “Berkata ath-Thiibiy: ‘Ketika do’a ini mencakup semua makna taubat, maka dipinjamlah (dipakailah) untuknya nama sayyid...’”

Sayyidul istighfar telah mencakup semua makna taubat hamba kepada Rabb-nya. Karena di dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengumpulkan keindahan makna dan kebagusan lafazh-lafazhnya yang berhak dzikir ini dinamakan dengan sayyidul istighfar:

Pertama: Ikrar hanya bagi Allah semata uluhiyyah dan ‘ubudiyyah.
Kedua: Pengakuan sesungguhnya Allah adalah Khaliq (pencipta).
Ketiga: Pengakuan akan perjanjian yang Allah telah mengikatnya.
Keempat: Pengharapan terhadap janji Allah.
Kelima: Memohon perlindungan dari kejahatan yang dilakukan hamba terhadap dirinya.
Keenam: Disandarkannya segala ni’mat kepada yang memberikannya (yaitu Allah).
Ketujuh: Disandarkannya segala dosa kepada dirinya (diri hamba).
Kedelapan: Dia (hamba) sangat mengharapkan maghfirah (ampunan).
Kesembilan: Pengakuan hamba sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampunkan dosa-dosa melainkan Dia (Allah).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam mensyarah hadits ini[1]:
“Sungguh hadits ini telah meliputi dari pengakuan-pengakuan (hamba) yang sangat besar sekali, yang karenanya dia menjadi sayyidul istighfar:
Pengakuan hamba akan rububiyyah Allah.
Kemudian yang kedua (adalah pengakuan hamba) akan uluhiyyah Allah dengan perkataannya, Laa ilaha illa anta (Tidak ada tuhan yang berhak diibadahi melainkan Engkau).
Kemudian pengakuannya, sesungguhnya Allah, Dia-lah yang telah menciptakannya dan mengadakannya dari tidak ada.
Kemudian dia (hamba) mengatakan wa ana ‘abduka (dan aku adalah hamba-Mu) merupakan pengakuan (hamba) akan (hak) ubudiyyah bagi Allah. Karena sesungguhnya Allah telah menciptakan anak Adam (manusia) untuk beribadah kepada-Nya. Maka hamba apabila telah keluar dari tujuan Allah menciptakannya yaitu untuk menta’ati-Nya, mengenal-Nya, mencintai-Nya, kembali kepada-Nya dan bertawakkal kepada-Nya, maka sesungguhnya dia sebagai seorang budak yang telah lari dari tuannya. Akan tetapi apabila dia bertaubat dan kembali kepada-Nya, maka sesungguhnya dia telah kembali kepada apa yang Allah cintai darinya, maka Allah sangat gembira dengan sebab kembalinya ini. Oleh karena itu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan dari Allah bahwa ‘Allah sangat gembira menerima taubat dari hamba-Nya...[2]’”
Kemudian dia mengatakan wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu (dan aku berada di atas perjanjian-Mu dan janji-Mu semampuku), maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membuat perjanjian kepada hamba-hamba-Nya dengan satu perjanjian yang berupa perintah dan larangan-Nya kepada mereka, dan Ia pun menjanjikan kepada mereka, maka barang siapa yang menunaikan perjanjian-Nya, niscaya Dia akan memberikan balasan kepada mereka dengan setinggi-tingginya balasan (pahala). Maka hamba berjalan di antara menegakkan perjanjian Allah kepadanya dan tashdiq (membenarkan) janji-Nya.”
Kemudian perkataannya mastatho’tu (semampuku) yakni aku menegakkan yang demikian itu hanya sebatas kemampuanku. Yang tentunya tidak akan pernah mencukupi apa yang sebenarnya patut bagi-Mu yang berhak aku tunaikan.[3]
Kemudian dia mengatakan a’udzubika min syarrimaa shona’tu (aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang aku lakukan), di dalamnya terdapat ketetapan akan perbuatan hamba dan usahanya. Dan sesungguhnya kejahatan itu disandarkan kepada perbuatan hamba, tidak kepada Rabb-nya. Maka hamba mengatakan ‘a’udzubika min syarrimaa shona’tu’ menunjukkan bahwa kejahatan tidak lain melainkan datangnya dari (perbuatan) hamba. Adapun Rabb, maka bagi-Nya al-Asmaa-ul Husna (nama-nama yang baik). Maka setiap sifat-sifat-Nya adalah sifat-sifat yang sempurna, dan setiap perbuatan-perbuatan-Nya terdapat hikmah dan maslahat. Hal ini diperkuat oleh sabda beliau ‘alaihish sholatu wa salam: ‘sedangkan kejahatan tidak disandarkan kepada-Mu’ di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim tentang do’a istiftaah[4].
Kemudian dia mengatakan, abu ulaka bini’matika ‘alayya (aku mengakui ni’mat-Mu kepadaku), yakni aku mengakui segala ni’mat-Mu yang Engkau berikan kepadaku dan sesungguhnya aku adalah orang yang berdosa. Maka dari-Mu segala kebaikan sedangkan dariku adalah kejahatan. Maka aku memuji-Mu atas ni’mat-Mu yang Engkau sungguh memang berhak untuk dipuji, dan aku memohon ampun kepada-Mu atas dosa-dosaku.
Maka apabila hamba telah menyaksikan (mengakui) dua perkara ini (ni’mat Allah dan memohon ampun), niscaya istiqomahlah ‘ubudiyyahnya, dan naiklah dia kepada derajat pengetahuan dan keimanan, dan kecillah dirinya, dan tawadhu’lah dia kepada Rabb-nya. Maka inilah kesempurnaan ‘ubudiyyah. Yang dengan sebabnya terbebaslah dia dari ‘ujub dan kesombongan dalam beramal.

Wallaahu Ta’ala a’lam bish showab.

Al-Faqir ila Rabbil ‘Arsyil ‘Adzhim
Ibnu Isma’il bin Ibrahim al-Muhajirin


Maroji’:
Al-Masaa-il Jilid 9, oleh al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat hafizhahullahu Ta’ala, cetakan pertama, terbitan Darus Sunnah.
___________
Catatan kaki:
[1] Dari kitab Jaami’ul Masaa-il Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (1/159 dst) yang ditahqiq oleh Muhammad ‘Aziz Syams di bawah pengawasan Syaikh Bakar Abdullah Abu Zaid rahimahullah.
[2] Riwayat al-Bukhari (no. 6308) dan Muslim (no. 2744).
[3] Maka hadits ini merupakan bantahan terhadap firqah qadariyyah jabbariyyah, mereka yang mengatakan, “Sesungguhnya hamba tidak mempunyai kekuasaan dan tidak juga mempunyai kemampuan dan sama sekali tidak mempunyai perbuatan, sesungguhnya Allah hanya menyiksa atas perbuatan-Nya sendiri bukan atas perbuatan hamba.”
Yaa Subhanallah...
Hadits ini juga merupakan bantahan terhadap kelompok-kelompok majusiyyah dan selain mereka.”
[4] Riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya (no. 771).

Sumber: http://ibnuismailbinibrahim.blogspot.com/2009/06/sayyidul-istighfar.html