Ketika saya mengetik note ini, sebenarnya sudah ngantuk berat. Tapi tidak ingin menunda lagi untuk menuliskan beberapa kalimat yang sejak beberapa hari lalu ingin ku-share kepada teman2. Walaupun kurang terstruktur, tapi yah inilah note-ku.
Ini tentang pengalaman beberapa hari lalu. Tepatnya sepekan lalu. Waktu itu ada daurah masyaikh yang diadakan di sebuah aula masjid. Kegiatannya sampai sore menjelang maghrib. Sepertinya saat itu sy termasuk orang yang bersegera pulang, karena hari juga sudah mulai gelap. Sehingga alhamdulillah di pinggir jalan akhawaat belum berjubel yang biasanya menimbulkan kemacetan panjang.
Saya bersama beberapa akhawaat sudah berada di angkot. Ketika angkot sudah mulai berangkat, kira-kira 200 meter dari tempat daurah, saya melihat seorang akhawaat yang berjalan cepat dengan jilbab panjang menjuntai dan cadar hitam melekat di wajahnya. Ada perasaan bahwa dia adalah sosok yang tidak asing. Tiba-tiba saja dia berbelok di pertigaan jalan dan bagian bawah jubahnya terlihat karena ujung jilbabnya tertiup angin. Saya mengenali jubah itu dan akhirnya saya bisa memastikan, dia adalah ukhti 'Aisyah (nama samaran). Saya jadi bertanya-tanya, kenapa dia tidak naik angkot saja bersama kami? Padahal rumahnya lumayan jauh dan malam akan segera merayap. Kesimpulanku, dia tidak memiliki uang untuk membayar angkot hingga tiba di pertigaan berikutnya. Karena memang untuk sampai ke rumahnya, dia harus naik angkot 2 kali dan naik becak juga. Rasanya hati ini begitu teriris. Melihat seorang saudari yang untuk biaya angkot 2 ribu rupiah saja dia tidak punya dan harus berjalan sekitar 2 km. Sedangkan bibir ini sering kali mengeluhkan kekurangan2 yang ada.
Saya bersama beberapa akhawaat sudah berada di angkot. Ketika angkot sudah mulai berangkat, kira-kira 200 meter dari tempat daurah, saya melihat seorang akhawaat yang berjalan cepat dengan jilbab panjang menjuntai dan cadar hitam melekat di wajahnya. Ada perasaan bahwa dia adalah sosok yang tidak asing. Tiba-tiba saja dia berbelok di pertigaan jalan dan bagian bawah jubahnya terlihat karena ujung jilbabnya tertiup angin. Saya mengenali jubah itu dan akhirnya saya bisa memastikan, dia adalah ukhti 'Aisyah (nama samaran). Saya jadi bertanya-tanya, kenapa dia tidak naik angkot saja bersama kami? Padahal rumahnya lumayan jauh dan malam akan segera merayap. Kesimpulanku, dia tidak memiliki uang untuk membayar angkot hingga tiba di pertigaan berikutnya. Karena memang untuk sampai ke rumahnya, dia harus naik angkot 2 kali dan naik becak juga. Rasanya hati ini begitu teriris. Melihat seorang saudari yang untuk biaya angkot 2 ribu rupiah saja dia tidak punya dan harus berjalan sekitar 2 km. Sedangkan bibir ini sering kali mengeluhkan kekurangan2 yang ada.
Dia adalah 'Aisyah sang "mujahidah". beberapa tahun bersamanya, memberi arti yang khusus dalam lembaran perjalanan dakwah di kampus kami. Ini bukan kali pertama saya menjumpainya tengah berjalan kaki menempuh jarak yang jauh. Dia banyak menyampaikan nasihat tersirat dari raut wajah dan sikap yang tawadhu'. Walaupun dia seorang adik bagiku, tetapi kedewasaannya dalam bersikap dan mengambil keputusan begitu banyak mengajarkan kami. Bahkan di dalam majelis, kami kadang2 menitikkan air mata ketika mendengarkan nasihatnya. Kami tidak mentazkiyah beliau, tapi yang nampak dari lahiriyah beliau, itulah yang bisa kami ceritakan. Dia tidak seperti akhawaat2 yang lain. Masih punya waktu untuk membuat FB, menulis status, dsb. Bukan karena dia gaptek, sama sekali bukan. Tapi karena waktu-waktunya dia isi dengan kesibukan mengisi kajian beberapa halaqoh tahsin, kajian rutin di beberapa fakultas, dan mengajar TKA-TPA. Waktu-waktu luangnya dia gunakan untuk memikirkan ummat dan strategi dakwah, atau sekedar membuat jajanan yang dia jual guna memenuhi kebutuhan sehari-harinya. MasyaAllah,dia akhawaat yang mandiri. Tidak banyak yang tahu ketika dia sedang kekurangan(apalagi dari sisi materi), karena dia selalu berusaha menyembunyikan kekurangan tersebut. Keluhan2 tentang kekurangannya nyaris tak pernah terdengar dari lisannya.
Saya masih ingat ketika dia meminta tanggapan akan niatnya untuk bercadar. Dari binar matanya terpancar semangat untuk selalu berfastabiqul khayrat. Walaupun saat itu orangtuanya bahkan masih menentang jilbab lebarnya, dia berani mengambil keputusan untuk bercadar. Dia tahu konsekuensi yang akan dia dapatkan. Akan tetapi, tawakkalnya kepada Allah telah mengalahkan semua keraguan dan ketakutannya.
Hari ini, dia tidak lagi berada di sini. Di garis depan medan juang dakwah kampus. Karena keesokan harinya setelah daurah, dia dijemput oleh ayahnya untuk segera pulang ke kampung halaman setelah studi dan urusan ijazahnya selesai. Bahkan saya tidak sempat bertemu lagi dengannya setelah daurah itu, Teryata ujung jilbab sang mujahidah yang kulihat sore itu adalah kali terakhir bagiku. Tapi walau raga terpisah, hati akan tetap terikat oleh buhul yang kuat. Di tempat lain, ummat membutuhkan orang2 sepertinya. Semoga di medan dakwahnya yang baru, dia tetap bisa berkiprah dan berprestasi di hadapan Rabbul Izzati.
Saya berharap suatu hari bisa bersamanya lagi, entah di dunia terlebih lagi di akhirat, di dalam jannah tertinggi. Aamiin.
Untuk seorang adik yang kucintai karena Allah...semoga Allah menjaganya, memudahkan segala urusannya, dan memberi keistiqomahan kepadanya. Aamiin
Ruang kecilku, 29 Dzulqa'dah 1432H-27 Okt 2011
Ummu Muhammad
Copas dari Note Akun FB-ku :http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150342612408683