Adakalanya orang mukmin melakukan keburukan lalu dia bertaubat darinya atau dia melakukan kebaikan yang dapat menghapusnya atau dia ditimpa cobaan yang dapat menghapusnya pula. Tapi dia tetap harus membenci keburukan itu. Allah telah mengabarkan bahwa Dia membuat orang-orang mukmin cinta kepada iman dan membuat mereka benci kepada kekufuran dan kefasikan serta kedurhakaan. Siapa yang tidak membenci tiga hal ini, berarti dia tidak masuk golongan mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih,
من رأي منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف لإيمان
"Siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya, dan yang demikian itu selemah-lemah iman."
Di dalam Shahih Muslim juga disebutkan,
فمن خاهدهم يده فهومؤمنٌ ومن خاهدهم بلسانه فهومؤمنٌ ومن خاهدهم بقلبه فهومؤمنٌ وليس وراء ذلك من الإيمان مثقال حبةخردل
"Siapa yang memerangi mereka dengan tangannya, maka dialah orang mukmin, dan siapa yang memerangi mereka dengan lisannya, maka dialah orang mukmin, dan siapa yang memerangi mereka dengan hatinya, maka dialah orang mukmin, dan setelah itu tidak ada lagi iman walau hanya sebiji sawi."
Dengan begitu dapat diketahui bahwa jika di dalam hati tidak ada kebencian terhadap sesuatu yang dibenci Allah, berarti di dalamnya tidak ada iman yang mengharuskan adanya pahala. Sabda beliau, "من الإيمان" artinya sebagian dari iman, yaitu iman yang tak terbatas. Dengan kata lain, di belakang tiga hal ini , yang menjadi keharusan iman, dan tidak ada lagi iman meski hanya sebiji sawi. Maknanya, inilah batasan iman yang terakhir, dan setelah itu tidak ada lagi iman yang menyisa. Maksudnya bukan berarti orang yang tidak melakukan hal itu tidak menyisakan sedikitpun dari iman, tapi lafazh hadits menunjukkan kepada makna yang pertama.
Hal ini sekaligus menyanggah pendapat orang yang mengatakan bahwa siapa yang tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya, maka di dalamnya tidak ada sedikitpun dari iman. Lafazh hadits tidak menunjukkan makna yang ditetapkannya. Sebab di dalam hadits disebutkan "dan setelah itu tidak ada lagi iman walau hanya sebiji sawi". Penafian ini mengarah kepada iman yang tak terbatas dan bukan kepada iman seseorang. Sebab sekiranya begitu tentu beliau mengatakan, "Setelah itu tidak menyisa dari iman seseorang meski seberat biji sawi". Perbedaan antara dua lafazh ini sangat jelas, yaitu antara iman yang tak terbatas dan iman yang dikaitkan kepada seseorang.
Maroji':
Kitab Al Iman, Karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.Penerbit:Darul Falah
Dengan begitu dapat diketahui bahwa jika di dalam hati tidak ada kebencian terhadap sesuatu yang dibenci Allah, berarti di dalamnya tidak ada iman yang mengharuskan adanya pahala. Sabda beliau, "من الإيمان" artinya sebagian dari iman, yaitu iman yang tak terbatas. Dengan kata lain, di belakang tiga hal ini , yang menjadi keharusan iman, dan tidak ada lagi iman meski hanya sebiji sawi. Maknanya, inilah batasan iman yang terakhir, dan setelah itu tidak ada lagi iman yang menyisa. Maksudnya bukan berarti orang yang tidak melakukan hal itu tidak menyisakan sedikitpun dari iman, tapi lafazh hadits menunjukkan kepada makna yang pertama.
Hal ini sekaligus menyanggah pendapat orang yang mengatakan bahwa siapa yang tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya, maka di dalamnya tidak ada sedikitpun dari iman. Lafazh hadits tidak menunjukkan makna yang ditetapkannya. Sebab di dalam hadits disebutkan "dan setelah itu tidak ada lagi iman walau hanya sebiji sawi". Penafian ini mengarah kepada iman yang tak terbatas dan bukan kepada iman seseorang. Sebab sekiranya begitu tentu beliau mengatakan, "Setelah itu tidak menyisa dari iman seseorang meski seberat biji sawi". Perbedaan antara dua lafazh ini sangat jelas, yaitu antara iman yang tak terbatas dan iman yang dikaitkan kepada seseorang.
Maroji':
Kitab Al Iman, Karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.Penerbit:Darul Falah