Lima hari aku di Gaza
Banyak sekali kenangan yang ku dapat
Kenangan tersendiri dalam hidupku
Kenangan berada di negeri jihad
Jihad melawan kezaliman
Jihad melawan keangkuhan
Jihad melawan kebiadaban
Rakyatnya sabar dalam berjuang
Meraih cita-cita yang mulia
Sebagai bangsa yang merdeka dari belenggu penjajahan
Walaupun mereka dijajah berpuluh tahun
Diblokade dua tahun lamanya (sekarang memasuki tahun ke empat)
Tidak menghalangi mereka untuk menghormati tamu
Itulah yang saya rasakan selama lima hari di Gaza
Ucapan salam juga disampaikan dengan senyuman
Yang mempererat tali persaudaraan
Kecintaan mereka terhadap Al Qur’an
Menyentuh lubuk hati yang paling dalam
Walaupun mereka dijajah
Tetapi mencetak Al Qur’an dengan bentuk yang indah
Kertas yang bagus
Di baca setiap saat oleh rakyat Gaza
Terutama anak-anak yang mengikuti program tahfizh Al Qur’an
Untuk tahun ini, tahun 2009
Mereka mentargetkan ada 10.000 orang hafizh yang baru
Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar
Kecintaan mereka terhadap masjid juga menyentuh jiwaku
Walaupun masjidnya dihancurkan penjajah Israel
Mereka masih ke masjid melakukan shalat berjama’ah
Cinta mereka terhadap masjid patut dicontoh
Bahkan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan
Seluruh masjid mengadakan program i’tikaf
Rakyat Gaza mengikuti program i’tikaf tersebut
Bahkan pemimpin mereka Ismail Haniya juga turut serta
Suatu jalinan yang indah antara rakyat dan pemimpinnya
Dalam ketaatan kepada Allah
Menetes air mataku saat meninggalkan kota Gaza
Mereka melepas keberangkatanku juga menangis
Entah kapan aku akan dapat kembali ke Gaza
Kota yang penuh kenangan spiritual dan jihad
Saya hanya berdoa semoga dapat kembali lagi ke Gaza
Dan shalat di masjid Al Aqsha
Kala itu Palestina merdeka
Insya Allah tidak lama lagi
Ditulis di atas pesawat dari Riyadh menuju Jakarta sekembali dari kota Gaza Hasyim, Ahad, 8/2/2009, setelah matahari terbenam gelap menjulang.
-------------------------------------
Insya Allah hari ini, Jum’at, Jumadil Akhir 1431 H/ 21 Mei 2010 M,
Penulis bersama Relawan Kemanusiaan KISPA akan meninggalkan tanah air untuk bergabung dengan “Armada Pembebasan” di Turki selanjutnya dengan 600 orang relawan kemanusian menggunakan 9 kapal laut akan mengarungi samudra luas menuju Kota Gaza Hasyim.
Mohon maaf lahir batin, ikhlaskan apa-pa yang telah kami makan dan minum serta doakan selalu semoga kami selamat, sehat wal ‘afiat dan sentiasa dapat membantu rakyat Gaza, umat nabi Muhammad Shallallahu'alayhi wasallam yang sedang menderita, semoga keberkahan selalu Allah curahkan untuk kita semua.
Jika kami tidak kembali, lanjutkan perjuangan membantu rakyat Palestina meraih kemerdekaannya dan bebaskan Masjid Al Aqsha dari cengkraman tangan kotor zionis Israel.
Aku titipkan anak dan istriku, ahli keluargaku dan harta bendaku kepada
Allah Yang Tidak Pernah Mengantuk, Allah Yang Tidak Pernah Tidur
Alllah Yang Maha Kuasa, Allah Yang Maha Perkasa
Allah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penjaga
Hasbunallah wani’mal wakil ni’mal maula wani’man Nashir
Shalawat dan salam untuk Rasulullah saw, keluarganya dan sahabatnya.
Walhamdulillahirabbil’alamin
Ferry Nur; Ketua KISPA (Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina)
http://www.eramuslim.com/berita/info-umat/gaza-kota-kenangan.htm
Pindahkan cinta di hatimu ke mana saja kamu suka… Tetapi cinta sesungguhnya hanyalah untuk kekasih pertama… Berapa banyak tempat di bumi yang disinggahi pemuda… Namun kerinduannya senantiasa untuk rumah pertama….*
Selasa, 01 Juni 2010
Bagaimana Investasi di Jalan Allah? … Ini bukan investasi biasa
Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ
“Barangsiapa memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak” (Al Hadid: 11)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa yg dimaksudkan dengan ayat ini adalah berinfaq di jalan Allah secara umum (baik untuk jalan fii sabilillah atau menafkahi keluarga) dengan niat yg ikhlas dan tekad yg jujur, ini semua tercakup dlm ayat di atas.
Kisah yang Menarik
‘Abdullah bin Mas’ud menceritakan bahwa tatkala turun ayat di atas, Abud Dahdaa Al Anshori mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah Allah menginginkan pinjaman dari kita?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Betul, wahai Abud Dahdaa.”
Kemudian Abud Dahdaa pun berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah tanganmu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyodorkan tangannya. Abud Dahdaa pun mengatakan, “Aku telah memberi pinjaman pada Rabbku kebunku. Kebun tersebut memiliki 600 pohon kurma.”
Ummud Dahda, istri dari Abud Dahdaa bersama keluarganya berada di kebun tersebut, lalu Abud Dahdaa datang dan berkata, “Wahai Ummud Dahdaa.” Istrinya mengatakan, “Iya.”
Abud Dahdaa mengatakan, “Keluarlah, aku telah memberi pinjaman kebun inu pd Rabbku”
Dalam riwayat lain, Ummud Dahdaa menjawab, “Engkau telah beruntung dengan penjualanmu, wahai Abud Dahdaa.”
Ummu Dahda pun pergi dari kebun tadi, begitu pula anak-anaknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun terkagum dgn Abud Dahdaa, lalu mengatakan, “Begitu banyak tandan anggur dan harum-haruman untuk Abud Dahdaa di surga.”
(Riwayat ini adalah riwayat yang shahih. Dikeluarkan oleh Abdu bin Humaid dalam Muntakhob dan Ibnu Hibban dalam Mawarid Zhoma’an. Lihat Shahih Tafsir Ibnu Katsir 4/377)
Masya Allah …
Inilah investasi yg baik di jalan Allah. Ini bukan berarti Allah butuh pada pinjaman seorang hamba. Namun sebenarnya, hamba lah yang butuh dengan hal seperti ini, karena ini adalah karunia Allah agr hamba tersebut mendapatkan ganti yanga lebih baik di akhirat.
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ
“Barangsiapa memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak” (Al Hadid: 11)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa yg dimaksudkan dengan ayat ini adalah berinfaq di jalan Allah secara umum (baik untuk jalan fii sabilillah atau menafkahi keluarga) dengan niat yg ikhlas dan tekad yg jujur, ini semua tercakup dlm ayat di atas.
Kisah yang Menarik
‘Abdullah bin Mas’ud menceritakan bahwa tatkala turun ayat di atas, Abud Dahdaa Al Anshori mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah Allah menginginkan pinjaman dari kita?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Betul, wahai Abud Dahdaa.”
Kemudian Abud Dahdaa pun berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah tanganmu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyodorkan tangannya. Abud Dahdaa pun mengatakan, “Aku telah memberi pinjaman pada Rabbku kebunku. Kebun tersebut memiliki 600 pohon kurma.”
Ummud Dahda, istri dari Abud Dahdaa bersama keluarganya berada di kebun tersebut, lalu Abud Dahdaa datang dan berkata, “Wahai Ummud Dahdaa.” Istrinya mengatakan, “Iya.”
Abud Dahdaa mengatakan, “Keluarlah, aku telah memberi pinjaman kebun inu pd Rabbku”
Dalam riwayat lain, Ummud Dahdaa menjawab, “Engkau telah beruntung dengan penjualanmu, wahai Abud Dahdaa.”
Ummu Dahda pun pergi dari kebun tadi, begitu pula anak-anaknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun terkagum dgn Abud Dahdaa, lalu mengatakan, “Begitu banyak tandan anggur dan harum-haruman untuk Abud Dahdaa di surga.”
(Riwayat ini adalah riwayat yang shahih. Dikeluarkan oleh Abdu bin Humaid dalam Muntakhob dan Ibnu Hibban dalam Mawarid Zhoma’an. Lihat Shahih Tafsir Ibnu Katsir 4/377)
Masya Allah …
Inilah investasi yg baik di jalan Allah. Ini bukan berarti Allah butuh pada pinjaman seorang hamba. Namun sebenarnya, hamba lah yang butuh dengan hal seperti ini, karena ini adalah karunia Allah agr hamba tersebut mendapatkan ganti yanga lebih baik di akhirat.
Cara Mudah Mempelajari Aqidah Ahlus Sunnah (2)
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Bab 2. Metode Salafus Shalih Dalam Penetapan Aqidah
Bab ini mencakup lima pembahasan:
1. Sumber Aqidah
2. as-Sunnah Merupakan Wahyu Yang Terjaga
3. as-Sunnah Merupakan Hujjah
4. as-Sunnah Merupakan Hujjah Yang Mandiri
5. Hadits Ahad Hujjah dalam Aqidah
[1] Sumber Aqidah
Aqidah adalah perkara tauqifiyah, artinya tidak bisa ditetapkan kecuali apabila dilandasi dengan dalil dari Sang pembuat syari’at. Aqidah bukanlah medan pemikiran dan ruang untuk berijtihad. Oleh sebab itu sumber aqidah itu hanya terbatas pada apa yang dijelaskan di dalam al-Kitab maupun as-Sunnah. Sebab, tidak ada yang lebih mengetahui tentang Allah dan apa yang wajib baginya serta perkara-perkara yang Allah tersucikan darinya selain Allah sendiri. Dan tidak ada selain Allah orang yang lebih mengerti tentang hal itu selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu manhaj/metode salafus shalih dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam mengambil aqidah adalah terbatas pada al-Kitab dan as-Sunnah (lihat Kitab at-Tauhid li as-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 11)
[2] as-Sunnah Merupakan Wahyu Yang Terjaga
Yang dimaksud dengan Sunnah di sini adalah segala sesuatu yang ditetapkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam selain daripada apa yang telah disebutkan di dalam al-Qur’an. Apa saja yang beliau sampaikan -dalam urusan agama ini- pada hakekatnya merupakan wahyu dari Allah ta’ala, bukan hasil rekayasa pemikiran beliau.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah dia -Muhammad- berbicara dari hawa nafsunya, akan tetapi itu semata-mata wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. an-Najm: 3-4).
Dan Allah ta’ala telah berjanji untuk menjaga wahyu yang diturunkan kepada Nabi-Nya, sebagaimana ditegaskan oleh-Nya dalam ayat (yang artinya), “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr dan Kami pula yang akan menjaganya.” (QS. al-Hijr: 9)
(lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 71-72)
Syubhat: Sebagian orang beranggapan bahwa kita tidak mungkin berpegang dengan as-Sunnah/hadits karena hadits itu baru dituliskan beberapa ratus tahun setelah meninggalnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jawaban: Tuduhan bahwa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru dituliskan beberapa ratus tahun setelah wafatnya adalah dugaan yang keliru dan ucapan tanpa bukti. Di antara dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa suatu ketika seorang penduduk Yaman bernama Abu Syah meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dituliskan apa yang dia dengar dari khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun penaklukan kota Mekah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tuliskanlah -isi khutbahku- untuk Abu Syah.” (lihat Fath al-Bari [1/250-251], Syarh Muslim [5/256-257]).
Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Tidak ada seorang pun sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih banyak haditsnya daripada aku kecuali apa yang ada pada Abdullah bin Amr, karena dia selalu mencatat sedangkan aku tidak mencatat.” (lihat Fath al-Bari [1/251])
Dalil lainnya, adalah hadits yang riwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim dll dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, beliau berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya senantiasa mendengar apa yang anda sampaikan kemudian saya pun mencatatnya.” Beliau menjawab, “Iya.” Abdullah berkata, “Dalam keadaan -anda- murka ataupun ridha?”. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya. Karena sesungguhnya aku tidak mengucapkan kecuali kebenaran.” (lihat hadits yang lainnya dalam al-Hadits an-Nabawi oleh Dr. Muhammad Luthfi, hal. 42-43)
[3] as-Sunnah Merupakan Hujjah
Sunnah dalam terminologi ahli ushul merupakan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selain al-Qur’an. Maka dalam pengertian ini, sunnah itu mencakup ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, perbuatannya, persetujuannya, tulisan yang beliau tinggalkan, isyarat yang beliau berikan, tekad dan juga sikap beliau dalam meninggalkan sesuatu.
Dalam makna ini maka sunnah itu bisa disamakan dengan istilah al-Hikmah yang sering disebutkan beriringan dengan al-Kitab di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Seperti misalnya, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah menurunkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah, dan Allah mengajarkan kepadamu apa-apa yang kamu tidak ketahui, dan karunia Allah atas dirimu sungguh sangat besar.” (QS. an-Nisaa’: 113).
Oleh sebab itu Imam asy-Syafi’i rahimahullah menukil keterangan ulama ahli tafsir bahwa yang dimaksud dengan al-Hikmah di sini adalah Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 122)
Kaum muslimin telah sepakat mengenai wajibnya taat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keharusan untuk mengikuti Sunnahnya. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun Sunnah ini, apabila ia telah terbukti keabsahannya maka segenap kaum muslimin telah sepakat mengenai kewajiban untuk mengikutinya.”
Di antara dalil-dalil yang melandasinya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Katakanlah: taatilah Allah dan taatilah Rasul, apabila kalian berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir itu.” (QS. Ali Imran: 32).
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Hendaknya merasa takut orang-orang yang menyelisihi urusan rasul itu, karena mereka akan tertimpa fitnah atau merasakan siksaan yang sangat pedih.” (QS. an-Nur: 63).
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidak pantas bagi seorang beriman lelaki ataupun perempuan apabila Allah dan rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara kemudian ternyata masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam menyelesaikan urusan mereka.” (QS. al-Ahzab: 36).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian, apabila kalian berselisih tentang perkara apa saja maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul, apabila kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. an-Nisaa’: 59).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan al-Kitab dan yang semisal dengannya bersama hal itu.” (HR. Abu Dawud, dll).
Beliau juga bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah itu sama kedudukannya dengan apa yang diharamkan oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah)
(lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 124-125)
[4] as-Sunnah Merupakan Hujjah Yang Mandiri
Sunnah dapat dibagi menjadi tiga bagian apabila ditinjau dari keterkaitannya dengan dalil-dalil al-Qur’an. Pertama: Sunnah yang menjadi penegas; yaitu Sunnah yang sama persis kandungannya dengan kandungan dalil atau ayat al-Qur’an dari segala sisi. Kedua: Sunnah yang menjadi penjelas atau penafsir terhadap perkara-perkara yang disebutkan secara global saja oleh ayat al-Qur’an. Ketiga: Sunnah yang bersifat mandiri atau menambahkan sesuatu yang memang tidak disinggung di dalam al-Qur’an. Sunnah semacam ini bisa berupa keterangan mengenai wajibnya sesuatu yang hukumnya didiamkan oleh al-Qur’an, artinya al-Qur’an tidak membicarakan mengenai wajibnya hal itu. Atau bisa juga berupa keterangan mengenai haramnya sesuatu yang hukumnya didiamkan oleh al-Qur’an, artinya al-Qur’an tidak membicarakan mengenai haramnya hal itu (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 123)
Yang dimaksud di sini adalah hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbicara tentang suatu perkara yang tidak disebutkan oleh al-Qur’an. Hadits-hadits semacam itu biasa disebut para ulama dengan istilah Sunnah Istiqlaliyah atau Sunnah Za’idah. Kaum salaf telah sepakat bahwasanya wajib mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, entah itu yang sifatnya memberikan keterangan yang serupa, menafsirkan, atau yang memberikan keterangan tambahan yang tidak ada di dalam al-Qur’an. Dalilnya adalah dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban berhujjah dengan as-Sunnah, karena dalil-dalil itu bersifat umum dan tanpa pembatasan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menaati rasul sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80).
Ibnu Abdil Barr berkata, “Allah jalla wa ‘azza memerintahkan untuk taat kepada-Nya -yaitu rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam- serta mengikutinya dengan perintah yang mutlak dan global tanpa memberikan batasan apapun, sebagaimana Allah memerintahkan kita untuk mengikuti Kitabullah, sementara Allah juga tidak mengatakan; ‘Cocokkan dulu dengan Kitabullah’ sebagaimana pendapat sebagian kelompok menyimpang.”
Adapun sebuah hadits yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bunyinya, “Apa saja yang datang dariku kepada kalian hendaklah kalian hadapkan kepada Kitab Allah. Kalau sesuai dengan Kitab Allah maka itu berarti aku memang mengucapkannya, dan apabila ternyata menyelisihi Kitab Allah maka aku tidak pernah mengucapkannya…” Ini adalah hadits palsu yang dibuat-buat oleh kaum Zindiq dan Khawarij sebagaimana ditegaskan oleh Abdurrahman bin Mahdi (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 126)
[5] Hadits Ahad Hujjah Dalam Aqidah
Hadits/khabar ahad dalam istilah ahil ushul adalah selain mutawatir -hadits mutawatir ialah yang banyak jalur periwayatannya-, sehingga yang disebut khabar ahad adalah semua khabar/hadits yang tidak memenuhi syarat mutawatir. Sesungguhnya khabar ahad itu merupakan hujjah/landasan dalam hal hukum maupun akidah tanpa ada pembedaan di antara keduanya, dan hal ini merupakan perkara yang disepakati oleh para ulama salaf.
Dalil yang menunjukkan wajibnya menerima khabar ahad dalam persoalan-persoalan akidah adalah dalil-dalil yang mewajibkan beramal dengan khabar ahad, sebab dalil-dalil tersebut bersifat umum dan mutlak tanpa membeda-bedakan antara satu persoalan (bidang ilmu) dengan persoalan yang lain. Kemudian, selain itu pendapat yang menyatakan bahwa khabar ahad tidak diterima dalam masalah akidah akan melahirkan konsekuensi tertolaknya banyak sekali akidah sahihah. Pembedaan perlakuan terhadap hadits yang berbicara masalah hukum dengan hadits yang berbicara masalah akidah adalah perkara baru yang tidak diajarkan oleh agama, dikarenakan pembedaan ini tidak berasal dari salah seorang sahabat pun, demikian juga tidak dibawa oleh para tabi’in atau pengikut mereka, dan hal itu juga tidak dibawakan oleh para imam Islam, akan tetapi pembedaan ini hanyalah muncul dari para pemuka ahli bid’ah dan orang-orang yang mengikuti mereka (diringkas dari Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 148-149).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan di dalam kitabnya Muhtashar Shawa’iq (2/412) sebagaimana dinukil oleh Syaikh al-Albani rahimahullah, “Pembedaan ini -antara masalah akidah dan amal dalam hal keabsahan berhujjah dengan hadits ahad- adalah batil dengan kesepakatan umat. Karena hadits-hadits semacam ini senantiasa dipakai sebagai hujjah dalam perkara khabar ilmiah -yaitu akidah- sebagaimana ia dipakai untuk berhujjah dalam perkara thalab/tuntutan dan urusan amaliah…” (lihat Muntaha al-Amani, hal. 117, baca pula keterangan Syaikh Abdullah al-Fauzan dalam kitabnya Syarh al-Waraqat, hal. 214)
Betapa indah ucapan Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah, “Semua yang datang di dalam al-Qur’an atau sahih dari al-Mushthafa -yaitu Nabi Muhammad- ‘alaihis salam yang berbicara tentang sifat-sifat ar-rahman maka wajib beriman dengannya dan menerimanya dengan kepasrahan dan penuh penerimaan…” (Lum’at al-I’tiqad, yang dicetak bersama Syarh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dengan tahqiq Asyraf bin Abdul Maqshud, hal. 31)
Catatan: Apabila kita cermati ucapan emas Ibnu Qudamah di atas, maka akan teranglah bagi kita bahwa keyakinan bahwa hadits sahih -termasuk di dalamnya hadits sahih yang berstatus ahad- merupakan hujjah dalam hal aqidah merupakan keyakinan para imam ahlus Sunnah di sepanjang jaman, bukan hasil ijtihad pemikiran Ibnu Taimiyah atau Ibnul Qayyim rahimahumallah -sebagaimana disangka oleh sebagian orang-. Dari mana bisa kita simpulkan demikian? Perhatikanlah… Ibnu Qudamah hidup antara tahun 541-612 H. Adapun Ibnu Taimiyah hidup antara tahun 661-728 H. Demikian pula Ibnul Qayyim hidup antara tahun 691-751 H. Ini artinya Ibnu Qudamah lebih dahulu hidup dan lebih dahulu meninggal daripada Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Apakah kita akan mengatakan bahwa Ibnu Qudamah telah mengekor kepada Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim?! Subhanallah… betapa aneh dan ganjilnya logika berpikir semacam itu..
Lebih daripada itu semua kalau kita mau cermati sebuah ungkapan yang sangat populer dari para imam yang empat -yang notabene mereka ada sebelum Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim- “Apabila hadits itu sahih maka itulah madzhab/pandanganku.” Aduhai, apakah kita akan mengatakan bahwa yang mereka maksud dengan ucapan itu hanya dalam masalah fiqih/hukum saja? Sejak kapan mereka berkata demikian dan mana buktinya? Lalu apakah kita juga akan mengatakan bahwa imam yang empat mengekor kepada Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim?! Subhanallah, keajaiban apalagi yang ingin mereka ciptakan?! Allahul musta’aan.
Bab 2. Metode Salafus Shalih Dalam Penetapan Aqidah
Bab ini mencakup lima pembahasan:
1. Sumber Aqidah
2. as-Sunnah Merupakan Wahyu Yang Terjaga
3. as-Sunnah Merupakan Hujjah
4. as-Sunnah Merupakan Hujjah Yang Mandiri
5. Hadits Ahad Hujjah dalam Aqidah
[1] Sumber Aqidah
Aqidah adalah perkara tauqifiyah, artinya tidak bisa ditetapkan kecuali apabila dilandasi dengan dalil dari Sang pembuat syari’at. Aqidah bukanlah medan pemikiran dan ruang untuk berijtihad. Oleh sebab itu sumber aqidah itu hanya terbatas pada apa yang dijelaskan di dalam al-Kitab maupun as-Sunnah. Sebab, tidak ada yang lebih mengetahui tentang Allah dan apa yang wajib baginya serta perkara-perkara yang Allah tersucikan darinya selain Allah sendiri. Dan tidak ada selain Allah orang yang lebih mengerti tentang hal itu selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu manhaj/metode salafus shalih dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam mengambil aqidah adalah terbatas pada al-Kitab dan as-Sunnah (lihat Kitab at-Tauhid li as-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 11)
[2] as-Sunnah Merupakan Wahyu Yang Terjaga
Yang dimaksud dengan Sunnah di sini adalah segala sesuatu yang ditetapkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam selain daripada apa yang telah disebutkan di dalam al-Qur’an. Apa saja yang beliau sampaikan -dalam urusan agama ini- pada hakekatnya merupakan wahyu dari Allah ta’ala, bukan hasil rekayasa pemikiran beliau.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah dia -Muhammad- berbicara dari hawa nafsunya, akan tetapi itu semata-mata wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. an-Najm: 3-4).
Dan Allah ta’ala telah berjanji untuk menjaga wahyu yang diturunkan kepada Nabi-Nya, sebagaimana ditegaskan oleh-Nya dalam ayat (yang artinya), “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr dan Kami pula yang akan menjaganya.” (QS. al-Hijr: 9)
(lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 71-72)
Syubhat: Sebagian orang beranggapan bahwa kita tidak mungkin berpegang dengan as-Sunnah/hadits karena hadits itu baru dituliskan beberapa ratus tahun setelah meninggalnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jawaban: Tuduhan bahwa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru dituliskan beberapa ratus tahun setelah wafatnya adalah dugaan yang keliru dan ucapan tanpa bukti. Di antara dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa suatu ketika seorang penduduk Yaman bernama Abu Syah meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dituliskan apa yang dia dengar dari khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun penaklukan kota Mekah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tuliskanlah -isi khutbahku- untuk Abu Syah.” (lihat Fath al-Bari [1/250-251], Syarh Muslim [5/256-257]).
Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Tidak ada seorang pun sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih banyak haditsnya daripada aku kecuali apa yang ada pada Abdullah bin Amr, karena dia selalu mencatat sedangkan aku tidak mencatat.” (lihat Fath al-Bari [1/251])
Dalil lainnya, adalah hadits yang riwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim dll dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, beliau berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya senantiasa mendengar apa yang anda sampaikan kemudian saya pun mencatatnya.” Beliau menjawab, “Iya.” Abdullah berkata, “Dalam keadaan -anda- murka ataupun ridha?”. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya. Karena sesungguhnya aku tidak mengucapkan kecuali kebenaran.” (lihat hadits yang lainnya dalam al-Hadits an-Nabawi oleh Dr. Muhammad Luthfi, hal. 42-43)
[3] as-Sunnah Merupakan Hujjah
Sunnah dalam terminologi ahli ushul merupakan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selain al-Qur’an. Maka dalam pengertian ini, sunnah itu mencakup ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, perbuatannya, persetujuannya, tulisan yang beliau tinggalkan, isyarat yang beliau berikan, tekad dan juga sikap beliau dalam meninggalkan sesuatu.
Dalam makna ini maka sunnah itu bisa disamakan dengan istilah al-Hikmah yang sering disebutkan beriringan dengan al-Kitab di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Seperti misalnya, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah menurunkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah, dan Allah mengajarkan kepadamu apa-apa yang kamu tidak ketahui, dan karunia Allah atas dirimu sungguh sangat besar.” (QS. an-Nisaa’: 113).
Oleh sebab itu Imam asy-Syafi’i rahimahullah menukil keterangan ulama ahli tafsir bahwa yang dimaksud dengan al-Hikmah di sini adalah Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 122)
Kaum muslimin telah sepakat mengenai wajibnya taat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keharusan untuk mengikuti Sunnahnya. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun Sunnah ini, apabila ia telah terbukti keabsahannya maka segenap kaum muslimin telah sepakat mengenai kewajiban untuk mengikutinya.”
Di antara dalil-dalil yang melandasinya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Katakanlah: taatilah Allah dan taatilah Rasul, apabila kalian berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir itu.” (QS. Ali Imran: 32).
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Hendaknya merasa takut orang-orang yang menyelisihi urusan rasul itu, karena mereka akan tertimpa fitnah atau merasakan siksaan yang sangat pedih.” (QS. an-Nur: 63).
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidak pantas bagi seorang beriman lelaki ataupun perempuan apabila Allah dan rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara kemudian ternyata masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam menyelesaikan urusan mereka.” (QS. al-Ahzab: 36).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian, apabila kalian berselisih tentang perkara apa saja maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul, apabila kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. an-Nisaa’: 59).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan al-Kitab dan yang semisal dengannya bersama hal itu.” (HR. Abu Dawud, dll).
Beliau juga bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah itu sama kedudukannya dengan apa yang diharamkan oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah)
(lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 124-125)
[4] as-Sunnah Merupakan Hujjah Yang Mandiri
Sunnah dapat dibagi menjadi tiga bagian apabila ditinjau dari keterkaitannya dengan dalil-dalil al-Qur’an. Pertama: Sunnah yang menjadi penegas; yaitu Sunnah yang sama persis kandungannya dengan kandungan dalil atau ayat al-Qur’an dari segala sisi. Kedua: Sunnah yang menjadi penjelas atau penafsir terhadap perkara-perkara yang disebutkan secara global saja oleh ayat al-Qur’an. Ketiga: Sunnah yang bersifat mandiri atau menambahkan sesuatu yang memang tidak disinggung di dalam al-Qur’an. Sunnah semacam ini bisa berupa keterangan mengenai wajibnya sesuatu yang hukumnya didiamkan oleh al-Qur’an, artinya al-Qur’an tidak membicarakan mengenai wajibnya hal itu. Atau bisa juga berupa keterangan mengenai haramnya sesuatu yang hukumnya didiamkan oleh al-Qur’an, artinya al-Qur’an tidak membicarakan mengenai haramnya hal itu (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 123)
Yang dimaksud di sini adalah hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbicara tentang suatu perkara yang tidak disebutkan oleh al-Qur’an. Hadits-hadits semacam itu biasa disebut para ulama dengan istilah Sunnah Istiqlaliyah atau Sunnah Za’idah. Kaum salaf telah sepakat bahwasanya wajib mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, entah itu yang sifatnya memberikan keterangan yang serupa, menafsirkan, atau yang memberikan keterangan tambahan yang tidak ada di dalam al-Qur’an. Dalilnya adalah dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban berhujjah dengan as-Sunnah, karena dalil-dalil itu bersifat umum dan tanpa pembatasan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menaati rasul sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80).
Ibnu Abdil Barr berkata, “Allah jalla wa ‘azza memerintahkan untuk taat kepada-Nya -yaitu rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam- serta mengikutinya dengan perintah yang mutlak dan global tanpa memberikan batasan apapun, sebagaimana Allah memerintahkan kita untuk mengikuti Kitabullah, sementara Allah juga tidak mengatakan; ‘Cocokkan dulu dengan Kitabullah’ sebagaimana pendapat sebagian kelompok menyimpang.”
Adapun sebuah hadits yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bunyinya, “Apa saja yang datang dariku kepada kalian hendaklah kalian hadapkan kepada Kitab Allah. Kalau sesuai dengan Kitab Allah maka itu berarti aku memang mengucapkannya, dan apabila ternyata menyelisihi Kitab Allah maka aku tidak pernah mengucapkannya…” Ini adalah hadits palsu yang dibuat-buat oleh kaum Zindiq dan Khawarij sebagaimana ditegaskan oleh Abdurrahman bin Mahdi (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 126)
[5] Hadits Ahad Hujjah Dalam Aqidah
Hadits/khabar ahad dalam istilah ahil ushul adalah selain mutawatir -hadits mutawatir ialah yang banyak jalur periwayatannya-, sehingga yang disebut khabar ahad adalah semua khabar/hadits yang tidak memenuhi syarat mutawatir. Sesungguhnya khabar ahad itu merupakan hujjah/landasan dalam hal hukum maupun akidah tanpa ada pembedaan di antara keduanya, dan hal ini merupakan perkara yang disepakati oleh para ulama salaf.
Dalil yang menunjukkan wajibnya menerima khabar ahad dalam persoalan-persoalan akidah adalah dalil-dalil yang mewajibkan beramal dengan khabar ahad, sebab dalil-dalil tersebut bersifat umum dan mutlak tanpa membeda-bedakan antara satu persoalan (bidang ilmu) dengan persoalan yang lain. Kemudian, selain itu pendapat yang menyatakan bahwa khabar ahad tidak diterima dalam masalah akidah akan melahirkan konsekuensi tertolaknya banyak sekali akidah sahihah. Pembedaan perlakuan terhadap hadits yang berbicara masalah hukum dengan hadits yang berbicara masalah akidah adalah perkara baru yang tidak diajarkan oleh agama, dikarenakan pembedaan ini tidak berasal dari salah seorang sahabat pun, demikian juga tidak dibawa oleh para tabi’in atau pengikut mereka, dan hal itu juga tidak dibawakan oleh para imam Islam, akan tetapi pembedaan ini hanyalah muncul dari para pemuka ahli bid’ah dan orang-orang yang mengikuti mereka (diringkas dari Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 148-149).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan di dalam kitabnya Muhtashar Shawa’iq (2/412) sebagaimana dinukil oleh Syaikh al-Albani rahimahullah, “Pembedaan ini -antara masalah akidah dan amal dalam hal keabsahan berhujjah dengan hadits ahad- adalah batil dengan kesepakatan umat. Karena hadits-hadits semacam ini senantiasa dipakai sebagai hujjah dalam perkara khabar ilmiah -yaitu akidah- sebagaimana ia dipakai untuk berhujjah dalam perkara thalab/tuntutan dan urusan amaliah…” (lihat Muntaha al-Amani, hal. 117, baca pula keterangan Syaikh Abdullah al-Fauzan dalam kitabnya Syarh al-Waraqat, hal. 214)
Betapa indah ucapan Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah, “Semua yang datang di dalam al-Qur’an atau sahih dari al-Mushthafa -yaitu Nabi Muhammad- ‘alaihis salam yang berbicara tentang sifat-sifat ar-rahman maka wajib beriman dengannya dan menerimanya dengan kepasrahan dan penuh penerimaan…” (Lum’at al-I’tiqad, yang dicetak bersama Syarh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dengan tahqiq Asyraf bin Abdul Maqshud, hal. 31)
Catatan: Apabila kita cermati ucapan emas Ibnu Qudamah di atas, maka akan teranglah bagi kita bahwa keyakinan bahwa hadits sahih -termasuk di dalamnya hadits sahih yang berstatus ahad- merupakan hujjah dalam hal aqidah merupakan keyakinan para imam ahlus Sunnah di sepanjang jaman, bukan hasil ijtihad pemikiran Ibnu Taimiyah atau Ibnul Qayyim rahimahumallah -sebagaimana disangka oleh sebagian orang-. Dari mana bisa kita simpulkan demikian? Perhatikanlah… Ibnu Qudamah hidup antara tahun 541-612 H. Adapun Ibnu Taimiyah hidup antara tahun 661-728 H. Demikian pula Ibnul Qayyim hidup antara tahun 691-751 H. Ini artinya Ibnu Qudamah lebih dahulu hidup dan lebih dahulu meninggal daripada Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Apakah kita akan mengatakan bahwa Ibnu Qudamah telah mengekor kepada Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim?! Subhanallah… betapa aneh dan ganjilnya logika berpikir semacam itu..
Lebih daripada itu semua kalau kita mau cermati sebuah ungkapan yang sangat populer dari para imam yang empat -yang notabene mereka ada sebelum Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim- “Apabila hadits itu sahih maka itulah madzhab/pandanganku.” Aduhai, apakah kita akan mengatakan bahwa yang mereka maksud dengan ucapan itu hanya dalam masalah fiqih/hukum saja? Sejak kapan mereka berkata demikian dan mana buktinya? Lalu apakah kita juga akan mengatakan bahwa imam yang empat mengekor kepada Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim?! Subhanallah, keajaiban apalagi yang ingin mereka ciptakan?! Allahul musta’aan.
Lezatnya Ketaatan Yang Dipertanyakan
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Banyak orang mengira bahwa menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya merupakan sebuah upaya yang sama sekali tidak menyenangkan, apatah lagi mendatangkan kelezatan. Namun, sebenarnya hal ini adalah sebuah perkara yang sudah dijelaskan oleh agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan manisnya iman, orang yang merasa ridha Allah sebagai rabbnya, islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai nabinya.” (HR. Muslim). Jelas sekali dari hadits yang mulia ini bahwa dengan sebab ketaatan seorang hamba akan bisa merasakan kenikmatan berupa manisnya keimanan.
Mengapa anggapan negatif semacam itu muncul, sehingga mengesankan bahwa jalan agama merupakan jalan yang tidak menjanjikan kenikmatan apa-apa? Banyak faktor yang mengelabui manusia sehingga membuat mereka memiliki persepsi yang salah semacam itu. Di antaranya adalah unsur kecintaan kepada dunia -yang notabene sementara dan fana- dan melupakan akherat -padahal akherat itu kekal dan abadi-. Dunia, dengan segenap perhiasannya telah banyak menipu orang. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, maka akan Kami sempurnakan baginya balasan amalnya di sana dan mereka tak sedikitpun dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak mendapatkan apa-apa di akherat kecuali neraka dan lenyaplah apa yang mereka perbuat serta sia-sia apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16)
Gara-gara dunia, sebagian orang pun rela menjual agamanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah dalam melakukan amal-amal, sebelum datangnya fitnah-fitnah bagaikan potongan-potongan malam yang gelap gulita, sehingga membuat seorang yang di pagi hari beriman namun di sore harinya menjadi kafir, atau sore harinya beriman namun di pagi harinya menjadi kafir, dia menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan duniawi semata.” (HR. Muslim)
Berbicara soal cinta dunia, tak bisa lepas dari godaan harta, wanita, ataupun tahta. Iblis dan bala tentaranya telah sekian lama berkecimpung dalam dunia ‘fitnah’ ini untuk menjebak manusia ke jurang-jurang kebinasaan, melalui pintu harta, wanita, atau tahta. Soal harta, bukanlah perkara yang ringan. Sampai-sampai seorang sahabat yang mulia sekelas Umar bin Khattab pun mengakui dalam sebuah ucapannya, “Ya Allah, kami tidak mampu melainkan merasakan gembira terhadap sesuatu yang Kamu hiasi/jadikan indah bagi kami -yaitu harta, wanita, dan anak-anak-. Ya Allah, maka aku memohon kepada-Mu agar dapat menginfakkannya di jalannya yang benar.” (HR. Bukhari secara mu’allaq).
Karena banyaknya orang yang tertipu oleh harta, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengingatkan kepada mereka. Beliau bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya perbendaharaan dunia. Akan tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah rasa cukup di dalam hati.” (HR. Bukhari).
Siapa yang mengatakan bahwa dengan dua atau tiga lembah emas manusia akan merasa cukup, dengan gaji dua atau tiga ratus juta per bulan orang akan merasa puas, siapa yang mengatakan…? Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah mempersaksikan, “Seandainya anak Adam itu memiliki dua lembah emas niscaya dia akan mencari yang ketiga. Dan tidak akan mengenyangkan rongga/perut anak Adam selain tanah. Dan Allah akan menerima taubat siapa pun yang mau bertaubat.” (HR. Bukhari)
Di sisi lain, orang-orang yang berpeluh keringat dan pusing tujuh keliling di atas jalan ketaatan merasakan bahwa apa yang mereka lakukan tidak mendatangkan keuntungan duniawi apa-apa. Waktu mereka ‘terbuang’, harta mereka ‘berkurang’, keinginan mereka terkekang; seolah-olah dunia ini telah menjadi sebuah penjara besar yang memasung segala keinginan dan harapan mereka untuk mencapai kenikmatan.
Janganlah anda heran, sebab memang demikianlah keadaan orang-orang yang belum mengenali karakter kehidupan dunia dan kebahagiaan sejati yang akan dirasakan oleh setiap mukmin di dalamnya. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Dunia ini laksana seorang wanita pelacur yang tak pernah mau setia kepada satu suamipun melainkan sebatas harga transaksi pelacuran…” Maka orang yang tertipu oleh dunia adalah orang yang rela menjual agama dan kehormatannya demi meraih kenikmatan semu yang berakhir dengan siksa, kepedihan, dan penyesalan.
Padahal, para ulama salaf kita mengatakan, “Sesungguhnya di dunia ini ada sebuah surga, barangsiapa yang tidak memasukinya niscaya dia tidak akan memasuki surga di akherat.” Sebagian mereka juga berkata, “Banyak para penghuni dunia yang keluar dari alam dunia sementara mereka belum merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.” Kenikmatan itu tiada lain adalah mengenal Allah dan merasa tentram dengan segala keputusan-Nya.
Itulah orang yang bisa merasakan kelezatan iman, apabila dia mencintai maka cintanya karena Allah, apabila dia membenci maka bencinya karena Allah, apabila dia memberi maka pemberiannya juga karena Allah, demikian pula apabila tidak memberi maka hal itu pun karena Allah.. Oleh sebab itu, Allah ta’ala mensifati orang-orang beriman dengan sifat-sifat yang menggambarkan kelapangan dada mereka terhadap apa yang ditetapkan-Nya. Allah menggambarkan bahwa hati mereka tidak merasa sempit atas apa yang diputuskan oleh Rasul-Nya. Hati mereka bergetar saat teringat kepada-Nya, dan bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka, dan mereka tidak menggantungkan harapan kecuali kepada-Nya semata.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin lelaki ataupun perempuan, apabila Allah dan rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka alternatif lain dalam urusan mereka…” (QS. al-Ahzab: 36). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sekali-kali mereka itu tidaklah beriman, sampai mereka menjadikanmu -Muhammad- sebagai hakim atas segala yang mereka perselisihkan di antara mereka, lalu mereka tidak mendapati rasa sempit di dalam hati mereka atas keputusan yang kamu berikan, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa’: 65). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetar/takutlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka semakin bertambahlah keimanan mereka. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabbnya.” (QS. al-Anfaal: 2)
Dan mereka -kaum beriman- adalah orang-orang yang tidak menyimpan keraguan terhadap apa yang dijanjikan oleh Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ketika orang-orang yang beriman melihat golongan-golongan yang bersekutu itu -untuk menghancurkan pasukan Islam- maka mereka berkata, ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan rasul-Nya, dan Maha benar Allah dan rasul-Nya.’ Dan tidaklah hal itu melainkan menambahkan kepada mereka keimanan dan kepasrahan.” (QS. al-Ahzab: 22). Sebaliknya, kalau kita perhatikan sosok orang-orang kafir dan munafik, maka Allah mensifati mereka dengan keragu-raguan terhadap janji Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika orang-orang munafik serta orang-orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit itu mengatakan: Yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kami hanya tipu daya belaka.” (QS. al-Ahzab: 12). Maka di posisi mana kita berada?
http://abumushlih.com/lezatnya-ketaatan-yang-dipertanyakan.html/
Banyak orang mengira bahwa menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya merupakan sebuah upaya yang sama sekali tidak menyenangkan, apatah lagi mendatangkan kelezatan. Namun, sebenarnya hal ini adalah sebuah perkara yang sudah dijelaskan oleh agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan manisnya iman, orang yang merasa ridha Allah sebagai rabbnya, islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai nabinya.” (HR. Muslim). Jelas sekali dari hadits yang mulia ini bahwa dengan sebab ketaatan seorang hamba akan bisa merasakan kenikmatan berupa manisnya keimanan.
Mengapa anggapan negatif semacam itu muncul, sehingga mengesankan bahwa jalan agama merupakan jalan yang tidak menjanjikan kenikmatan apa-apa? Banyak faktor yang mengelabui manusia sehingga membuat mereka memiliki persepsi yang salah semacam itu. Di antaranya adalah unsur kecintaan kepada dunia -yang notabene sementara dan fana- dan melupakan akherat -padahal akherat itu kekal dan abadi-. Dunia, dengan segenap perhiasannya telah banyak menipu orang. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, maka akan Kami sempurnakan baginya balasan amalnya di sana dan mereka tak sedikitpun dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak mendapatkan apa-apa di akherat kecuali neraka dan lenyaplah apa yang mereka perbuat serta sia-sia apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16)
Gara-gara dunia, sebagian orang pun rela menjual agamanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah dalam melakukan amal-amal, sebelum datangnya fitnah-fitnah bagaikan potongan-potongan malam yang gelap gulita, sehingga membuat seorang yang di pagi hari beriman namun di sore harinya menjadi kafir, atau sore harinya beriman namun di pagi harinya menjadi kafir, dia menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan duniawi semata.” (HR. Muslim)
Berbicara soal cinta dunia, tak bisa lepas dari godaan harta, wanita, ataupun tahta. Iblis dan bala tentaranya telah sekian lama berkecimpung dalam dunia ‘fitnah’ ini untuk menjebak manusia ke jurang-jurang kebinasaan, melalui pintu harta, wanita, atau tahta. Soal harta, bukanlah perkara yang ringan. Sampai-sampai seorang sahabat yang mulia sekelas Umar bin Khattab pun mengakui dalam sebuah ucapannya, “Ya Allah, kami tidak mampu melainkan merasakan gembira terhadap sesuatu yang Kamu hiasi/jadikan indah bagi kami -yaitu harta, wanita, dan anak-anak-. Ya Allah, maka aku memohon kepada-Mu agar dapat menginfakkannya di jalannya yang benar.” (HR. Bukhari secara mu’allaq).
Karena banyaknya orang yang tertipu oleh harta, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengingatkan kepada mereka. Beliau bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya perbendaharaan dunia. Akan tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah rasa cukup di dalam hati.” (HR. Bukhari).
Siapa yang mengatakan bahwa dengan dua atau tiga lembah emas manusia akan merasa cukup, dengan gaji dua atau tiga ratus juta per bulan orang akan merasa puas, siapa yang mengatakan…? Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah mempersaksikan, “Seandainya anak Adam itu memiliki dua lembah emas niscaya dia akan mencari yang ketiga. Dan tidak akan mengenyangkan rongga/perut anak Adam selain tanah. Dan Allah akan menerima taubat siapa pun yang mau bertaubat.” (HR. Bukhari)
Di sisi lain, orang-orang yang berpeluh keringat dan pusing tujuh keliling di atas jalan ketaatan merasakan bahwa apa yang mereka lakukan tidak mendatangkan keuntungan duniawi apa-apa. Waktu mereka ‘terbuang’, harta mereka ‘berkurang’, keinginan mereka terkekang; seolah-olah dunia ini telah menjadi sebuah penjara besar yang memasung segala keinginan dan harapan mereka untuk mencapai kenikmatan.
Janganlah anda heran, sebab memang demikianlah keadaan orang-orang yang belum mengenali karakter kehidupan dunia dan kebahagiaan sejati yang akan dirasakan oleh setiap mukmin di dalamnya. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Dunia ini laksana seorang wanita pelacur yang tak pernah mau setia kepada satu suamipun melainkan sebatas harga transaksi pelacuran…” Maka orang yang tertipu oleh dunia adalah orang yang rela menjual agama dan kehormatannya demi meraih kenikmatan semu yang berakhir dengan siksa, kepedihan, dan penyesalan.
Padahal, para ulama salaf kita mengatakan, “Sesungguhnya di dunia ini ada sebuah surga, barangsiapa yang tidak memasukinya niscaya dia tidak akan memasuki surga di akherat.” Sebagian mereka juga berkata, “Banyak para penghuni dunia yang keluar dari alam dunia sementara mereka belum merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.” Kenikmatan itu tiada lain adalah mengenal Allah dan merasa tentram dengan segala keputusan-Nya.
Itulah orang yang bisa merasakan kelezatan iman, apabila dia mencintai maka cintanya karena Allah, apabila dia membenci maka bencinya karena Allah, apabila dia memberi maka pemberiannya juga karena Allah, demikian pula apabila tidak memberi maka hal itu pun karena Allah.. Oleh sebab itu, Allah ta’ala mensifati orang-orang beriman dengan sifat-sifat yang menggambarkan kelapangan dada mereka terhadap apa yang ditetapkan-Nya. Allah menggambarkan bahwa hati mereka tidak merasa sempit atas apa yang diputuskan oleh Rasul-Nya. Hati mereka bergetar saat teringat kepada-Nya, dan bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka, dan mereka tidak menggantungkan harapan kecuali kepada-Nya semata.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin lelaki ataupun perempuan, apabila Allah dan rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka alternatif lain dalam urusan mereka…” (QS. al-Ahzab: 36). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sekali-kali mereka itu tidaklah beriman, sampai mereka menjadikanmu -Muhammad- sebagai hakim atas segala yang mereka perselisihkan di antara mereka, lalu mereka tidak mendapati rasa sempit di dalam hati mereka atas keputusan yang kamu berikan, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa’: 65). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetar/takutlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka semakin bertambahlah keimanan mereka. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabbnya.” (QS. al-Anfaal: 2)
Dan mereka -kaum beriman- adalah orang-orang yang tidak menyimpan keraguan terhadap apa yang dijanjikan oleh Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ketika orang-orang yang beriman melihat golongan-golongan yang bersekutu itu -untuk menghancurkan pasukan Islam- maka mereka berkata, ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan rasul-Nya, dan Maha benar Allah dan rasul-Nya.’ Dan tidaklah hal itu melainkan menambahkan kepada mereka keimanan dan kepasrahan.” (QS. al-Ahzab: 22). Sebaliknya, kalau kita perhatikan sosok orang-orang kafir dan munafik, maka Allah mensifati mereka dengan keragu-raguan terhadap janji Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika orang-orang munafik serta orang-orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit itu mengatakan: Yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kami hanya tipu daya belaka.” (QS. al-Ahzab: 12). Maka di posisi mana kita berada?
http://abumushlih.com/lezatnya-ketaatan-yang-dipertanyakan.html/
Langganan:
Postingan (Atom)